Psikolog Jelaskan Dampak Kecanduan Judi Online buat Anak Remaja
03 Desember 2024, 18:29:49 Dilihat: 258x
Jakarta -- Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan tak kurang dari 197.000 anak Indonesia terlibat judi online sepanjang 2024. Anak-anak yang terpapar judi online berada di rentang usia 11-19 tahun.
Psikolog Irma Gustiana mengamini bahwa remaja punya rasa ingin tahu yang besar. Karena itu, godaan untuk ingin mencoba judi online terkadang bisa muncul. Namun, ia menegaskan dampak judi online bisa berbuntut panjang.
Dampak Judi Online
Ganggu Kesehatan Mental
Irma mengingatkan, judi online mengganggu kesehatan mental remaja. Sebab, judi online pada dasarnya akan menciptakan ketergantungan atau kecanduan.
Ia menjelaskan, judi online pada dasarnya hanya memberikan reward sesaat. Saat melakukan judi online, terlebih menang, hormon dopamine dirilis di otak.
'Hormon senang' ini memicu anak remaja yang terlibat judi online untuk kembali merasakan efek senang dengan kembali berjudi kendati sempat kalah dan kembali kalah berkali-kali.
Harapannya, ia bisa menang, mendapat keuntungan finansial, menutupi kerugian, dan merasakan kesenangan lagi. Sedangkan jika tidak berjudi lagi, sang anak jadi merasakan kecemasan.
Kecenderungan tersebut berkaitan dengan konsep gambler's fallacy. Irma menjelaskan, gambler's fallacy terjadi saat penjudi percaya ia akan menang karena sudah berkali-kali kalah.
"Pelepasan hormon dopamine menimbulkan euforia, happy, seneng banget. Akibatnya, otak akan (memicu penjudi online) melakukan pola yang sama (kembali berjudi). Biasanya, kalau sudah di level awal, akan ada peningkatan. Penasaran," kata Irma dalam gelar wicara pemutaran film Kemenangan Sejati di CGV fX, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (2/12/2024).
Stres soal Uang
Dalam film tersebut, Gio (Muzakki Ramdhan) juga terjebak pada gambler's fallacy saat masih duduk di bangku SMA. Kendati sudah kalah judi, ia masih mencoba mencari uang kesana-kemari demi bisa merasakan menang judi lagi.
"Bicara judi online, ada gambler fallacy. Untung-untungan. 'Sekarang gapapa deh saya rugi, pasti besok saya beruntung.' Pasti ada seperti itu. Seperti di film, nyoba lagi, nyoba lagi, karena apa? Sekarang gagal, (berpikir) besok dapat lagi, padahal besoknya nggak dapat," imbuh Irma.
Irma menegaskan, aktivitas menang-kalah pada judi online pun memicu stres finansial.
"(Kepikiran) gimana caranya bisa mendapatkan uang sehingga saya bisa melakukan aktivitas perjudian kembali," ucapnya.
Hubungan Merenggang
Relasi dengan sosial pun terdampak judi online. Irma mencontohkan, pada film Kemenangan Sejati, tindakan-tindakan Gio yang ketergantungan judi online membuat hubungan dengan teman dan keluarga jadi jauh.
"Hubungan pertemanan, hubungan dengan keluarga jadi jauh, karena pasti ada rasa malu, rasa bersalah ke keluarga, sehingga ini membuat dia melakukan aktivitas ini lagi," ucapnya.
Rentan Kriminalitas
Irma mengatakan ketergantungan pada judi online juga berisiko memicu anak dan remaja melakukan tindak kriminalitas demi mendapatkan uang modal untuk kembali berjudi.
"Jadi masuk ke ranah hukum. Jadi memang kompleks sekali (masalah judi online ini)," ucapnya.
Saat seorang anak hendak keluar dari lingkaran judi online, rasa cemas pun bisa kembali muncul. Kondisi yang disebut 'gejala putus' ini berisiko membuat sang anak melakukan judi online lagi.
Untuk itu, ia mengingatkan agar pelajar dan masyarakat tidak mencoba judi online. Sebab, mencoba judi online dan lebih-lebih menang, kendati hanya berawal dari penasaran, bisa memicu otak jadi ketergantungan.
"Setiap kalian menolak dan tidak mau melakukan aktivitas judi online, sebetulnya kalian sedang membangun masa depan yang lebih baik dan lebih bahagia," pungkasnya.