Jakarta -- Pasar saham tengah diselimuti sentimen negatif baik dari sisi global maupun domestik. Imbasnya, kejatuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tak terelakkan.
Dalam sepekan saja, indeks turun 1,45 persen dari level 6.100 menjadi 6.011 pada perdagangan Jumat (29/11). IHSG bahkan menyentuh posisi 5.953 pada Kamis (28/11) yang menjadi titik terendah dalam enam bulan terakhir.
Analis Samuel Sekuritas Suria Dharma menjelaskan penurunan kinerja IHSG lebih dipengaruhi faktor domestik, yaitu sentimen buruk dari industri reksa dana. Sebagaimana diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah membubarkan (likuidasi) enam produk reksa dana yang dikelola PT Minna Padi Aset Manajemen (MPAM).
Keputusan pembubaran tertuang dalam surat OJK nomor S-1422.PM/21/2019 tertanggal 21 November 2019. Alasannya, Minna Padi menjanjikan tingkat pengembalian pasti (fixed return) atas produk tersebut.
Imbasnya, terjadi penjualan portofolio efek dalam daftar reksa dana yang dibubarkan oleh OJK sehingga menekan laju indeks. Sebelumnya, PT Narada Aset Manajemen juga mengalami transaksi gagal bayar atas pembelian beberapa efek saham senilai Rp177,78 miliar.
OJK pun memberikan sanksi suspensi terhadap penjualan produk reksa dananya.
"Akhirnya membuat saham-saham yang ada di reksa dana itu dijual dan diberi waktu selama 60 hari. Jadi orang berhati-hati, mau beli tapi ada yang jualan, itu menekan pasar," kata Suria kepada CNNIndonesia.com.
Hal tersebut diamini oleh Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang. Menurut dia, kekhawatiran pasar masih akan berlanjut lantaran diprediksi OJK masih akan melanjutkan penertiban produk reksa dana. Selain permasalahan dari industri reksa dana, ia bilang kinerja emiten sepanjang kuartal III 2019 tak begitu memuaskan, termasuk kinerja emiten-emiten pada jajaran LQ45. Akibatnya, pasar pun makin lesu.
"Dari situ sudah kelihatan dividen yang diterima investor nanti akan mengalami penurunan," ucapnya.
Pertimbangkan Fundamental
Kondisi itu membuat sebagian pelaku pasar kalang kabut hingga melakukan panik jual alias panic selling. Investor beramai-ramai melepas portofolio mereka karena khawatir kondisi pasar ke depan makin menekan harga saham.
Namun demikian, kedua analis tersebut menyarankan pelaku pasar tak buru-buru melepas kepemilikan portofolionya. Suria menyatakan investor harus melihat kembali valuasi saham yang dimiliki.
Jika valuasi saham masih murah, maka investor disarankan menahan kepemilikannya, meskipun sahamnya mengalami koreksi. Untuk diketahui, satu alat ukur yang biasa digunakan untuk melihat tinggi rendahnya valuasi saham adalah price earning ratio (PER).
Perhitungan PER didapat dari harga saham saat ini dibagi dengan keuntungan tahunan per saham atau Earning Per Share (EPS). Semakin tinggi PER, maka semakin mahal valuasi saham (overvalue).
Sebaliknya semakin rendah PER, maka semakin murah valuasi saham (undervalue). Sebagai perbandingan tinggi rendahnya PER, pelaku pasar bisa melihat PER industri.
"Jadi tergantung juga valuasinya bagaimana, tidak bisa dipukul rata harus melihat sahamnya apa," terang dia.
Senada, Edwin juga menyarankan investor membandingkan valuasi saham dengan kinerja fundamental perusahaan. Jika valuasi saham murah sementara kinerja fundamental perusahaan masih bagus, maka ada potensi kenaikan lanjutan.
Sumber : cnnindonesia.com