Pilpres 2014 Tak Ada Lagi Pertarungan Ideologi Partai
17 Juli 2012, 07:42:34 Dilihat: 274x
Tegar Arief Fadly - Okezone
Selasa, 17 Juli 2012 00:07 wib
Ilustrasi
JAKARTA - Banyak pihak yang menilai bahwa pada pemilihan presiden 2014 mendatang akan banyak bermunculan tokoh-tokoh baru, tak terkecuali dari kalangan pemuda. Namun, menurut Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Tohari, pilpres mendatang akan muncul pertarungan antar figur, bukan pertarungan antara ideologi suatu partai.
"Memang benar tidak ada pertarungan ideologi dalam Pilpres 2014. Dari nama-nama yang muncul ke permukaan memang susah untuk membedakan warna ideologi mereka masing-masing," kata dia saat dihubungi wartawan, Senin (16/07/2012).
Hajriyanto membandingkan sistem Pilpres di Indonesia dengan Amerika. Di Amerika, calon yang maju sebagai presiden memiliki ideologi jelas. Mana yang konservatif, mana yang liberal. Meskipun ada kecenderungan semuanya ke tengah, tetapi tetap kelihatan jelas mana yang kanan tengah atau mana yang kiri tengah.
"Sementara di Indonesia babar pisan, tidak ada bedanya. Secara ideologis mereka sama, yaitu ideologi ingin berkuasa menjadi presiden, itu saja. Sementara program-programnya hanyalah aksesoris belaka," tegasnya.
Dalam Pilpres, sambung Hajriyanto, jangankan pertarungan ideologi, bahkan paradigma partai politik pengusungnya saja seringkali tidak tercermin dalam figur pasangan capres dan cawapresnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa partai yang berbasis Islam yang mengusung figur yang bukan berasal dari partai berbasis Islam, misalnya dari partai nasionalis.
"Dalam satu hal kecenderungan ini positif karena menunjukkan tuntasnya Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa. Tetapi dari aspek lain ada negatifnya, yaitu terjebak dalam ideologi pragmatisme yang kering nilai dan cita-cita luhur. Akhirnya perpolitikan nasional terjebak dalam pragmatisme materialistis," paparnya.
Untuk itu, banyak kalangan yang berharap agar masing-masing parpaol melakukan regenerasi. Namun menurut Hajriyanto, regenerasi yang dilakukan selama ini tidak murni berlandaskan keinginan untuk menciptakan pemimpin baru yang bisa merubah arah masa depan bangsa. Namun hanya berdasarkan pada kekecewaan terhadap politisi tua.
"Karena kejenuhan atau bahkan kekesalan kepada yang tua maka muncullah gelombang tuntutan regenerasi. Tetapi generasi baru yang seperti apa mereka juga tidak tahu. Pokoknya yang penting ada regenerasi karena kecewa pada yang tua-tua," tandasnya.
(trk)