Perlukah Dana Pendidikan 20 Persen Dikaji Seperti Usul Sri Mulyani?
06 September 2024, 09:04:23 Dilihat: 258x
Jakarta, -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan porsi anggaran wajib (mandatory spending) untuk dana pendidikan yang sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikaji ulang.
Ani sapaan akrabnya, ingin mengubah sumber alokasi dana pendidikan yang saat ini dari belanja negara menjadi dari pendapatan negara.
"Kami sudah membahasnya di Kementerian Keuangan, ini caranya mengelola APBN tetap comply atau patuh dengan konstitusi, di mana 20 persen setiap pendapatan kita harusnya untuk pendidikan. Kalau 20 persen dari belanja, dalam belanja itu banyak ketidakpastian, itu anggaran pendidikan jadi kocak, naik turun gitu," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Rabu (4/9).
Bendahara negara itu mencontohkan belanja negara pada 2022 yang melonjak karena subsidi energi hingga Rp200 triliun. Padahal, kenaikan subsidi bukan terjadi karena pendapatan negara naik, tetapi harga minyak dunia yang melonjak.
Sebagai konsekuensi, saat belanja negara semakin besar, belanja untuk pendidikan juga semakin besar karena harus 20 persen dari total belanja negara.
"Ini yang menyulitkan dalam mengelola keuangan negara. Dalam artian bagaimana APBN tetap terjaga, defisit terjaga di bawah 3 persen, APBN terjaga sustainable. Tapi compliance terhadap 20 persen anggaran pendidikan itu tetap kita jaga," jelasnya.
Ia mengungkapkan kondisi tersebut mengakibatkan realisasi anggaran pendidikan yang terserap sering di bawah ketentuan mandatory spending. Misalnya saat belanja membengkak karena subsidi Rp200 triliun sejak Agustus, tetapi belanja wajib pendidikan tak mengikutinya.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada APBN 2023 ditetapkan belanja negara sebesar Rp3.061,2 triliun. Dari dana itu, pendidikan dapat alokasi Rp612,2 triliun.
Pada APBN 2024, anggaran belanja ditetapkan sebesar Rp3.325,1 triliun, naik dari 2023. Sehingga dana pendidikan pun menjadi lebih besar yakni Rp665 triliun.
Adapun anggaran pendidikan dialokasikan melalui berbagai pos, seperti Belanja Pemerintah Pusat (BPP), transfer ke daerah (TKD) dan pembiayaan.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda dengan tegas mengatakan tidak setuju apabila porsi anggaran pendidikan dikaji untuk dikurangi. Namun, apabila untuk dinaikkan porsi nya ia setuju.
"Kalau dikaji dengan hipotesa terlalu kecil boleh lah, sehingga bisa jadi ada tambahan. Tapai kalau dikaji untuk dikurangi jangan lah," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Menurut Huda, sampai saat ini masih banyak dana yang dibutuhkan untuk membenahi dunia pendidikan di Tanah Air. Misalnya, untuk merevitalisasi atau merenovasi sekolah-sekolah yang memang banyak sudah tak layak digunakan.
"Renovasi sekolah misalkan, itu sangat banyak yang harus diberikan dana renovasi agar sekolah layak digunakan," imbuhnya.
Dana pendidikan, kata Huda juga masih diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan tenaga pendidik yang sampai saat ini masih banyak hidup serba kekurangan karena gaji kecil.
"Apalagi sekarang ditambah lagi anggaran makan bergizi gratis yang masuk ke dana pendidikan 20 persen. Jadi, harusnya penggunaan lebih diarahkan ke arah sana (perbaikan sekolah dan tenaga pendidik)," jelasnya.
Selain itu, ia memang melihat masalah utama dunia pendidikan saat ini bukan besaran anggarannya, melainkan pengelolaan yang kurang efektif sehingga penyerapannya tidak maksimal.
"Saya rasa masalah utama dana pendidikan bukan di besaran dananya apakah efektif atau tidak, namun dalam penyerapannya yang masih bermasalah," katanya.
Oleh karenanya, ia menilai yang perlu diperbaiki ada pengelolaannya bukan sumber dananya. Lagipula, alokasi dana untuk pendidikan yang tepat memang harus berdasarkan belanja negara, bukan pendapatan.
Bahkan ia menyarankan porsi dana pendidikan harusnya berdasarkan APBN saja, bukan dari outlook yang nilainya bisa turun.