Terungkap! 'Banteng Merah' Bukan dari RI, Ternyata Negara Ini
22 Juli 2023, 13:28:50 Dilihat: 5050x
Jakarta, Universitas Narotama -- Seperti Indonesia, periode 1970-an adalah masa emas bagi Thailand. Selama periode tersebut, Negeri Gajah Putih sedang menikmati pesatnya pertumbuhan negara.
Berbagai proyek dilaksanakan secara masif dan besar-besaran. Tulang punggung pembangunan proyek itu adalah kuli alias pekerja kasar.
Tanpa peluh keringat, tidak ada bangunan berdiri tegak di atas tanah. Maka, perhatian khusus banyak diberikan kepada para kuli.
Salah satunya datang dari ahli farmasi, Chaleo Yoovidhya. Sekitar 1976, Chaleo menciptakan ramuan minuman campuran gula dan kafein dalam jumlah berlebih.
Tiap orang yang menenggaknya, niscaya energi akan datang bertubi-tubi. Bahkan, bisa mengusir lelah, kantuk, dan membuat seseorang bisa lebih fokus.
Minuman itu kelak dinamai Kratingdaeng. Bagi para pekerja kasar, minuman ini sesuai dengan pekerjaannya yang membutuhkan gerak fisik sangat besar.
Alhasil, dalam sekejap Kratingdaeng menjadi sangat populer. Karena bisa mendampingi mereka dalam mendongkrak aktivitas.
Mengutip tulisan Red Bull in Brief, besarnya popularitas minuman bergambar "banteng merah" itu menarik perhatian seorang warga Austria, Dietrich Mateschitz. Pada 1980-an, dia datang pertama kali ke Bangkok untuk kepentingan pekerjaan dengan menempuh perjalanan udara selama 13 jam.
Guna menghilangkan jet lag, sales perusahaan deterjen itu memberanikan menenggak minuman berenergi tersebut. Tak disangka, jet lag-nya hilang dan dia bisa semangat seperti sedia kala.
Dari sinilah, Mateschitz punya ide bisnis menarik. Dia ingin Kratingdaeng mendunia dan tak hanya dijual di Thailand saja.
Singkat cerita, ide itu baru terwujud pada 1 April 1987. Dengan izin Chaleo, Mateschitz memberanikan diri menjual minuman energi itu secara global dengan target pasar pertama penduduk Austria.
Nama minuman itu adalah Red Bull. Namun, tak mudah bagi Mateschitz untuk berjualan Red Bull di Austria.
Jika di Thailand target pasarnya adalah pekerja kasar, maka ini tidak berlaku di Austria yang minim pekerja kasar. Alhasil, Mateschitz nekat menawarkan Red Bull kepada para pekerja kerah biru dan menaruhnya di etalase tempat wisata dengan harga super mahal.
Menurut Reinhard Kunz dalam Sport-Related Branded Entertainment: The Red Bull Phenomenon (2016), keputusan menjual Red Bill di luar awal target pasar dan harga mahal bertujuan untuk membentuk target pasar baru. Mateschitz percaya jika ini dilakukan, maka akan terbentuk komunitas pecinta Red Bull, sehingga bakal terbentuk kesan eksklusif.
Tak hanya mengubah target pasar, keberhasilan Red Bull juga terjadi berkat upaya turun gunung di sponsor olahraga Formula 1. Di ajang olahraga balapan ekstrim itu, perusahaan nekat menjadi sponsor ratusan atlet dan mendirikan tim balap sendiri.
Mateschitz diketahui membeli tim Jaguar milik Ford dan mengubahnya menjadi Red Bull Racing, sebuah tim yang kemudian mampu mendominasi F1 bersama Mercedes dalam lebih dari satu dekade terakhir. Dari sini, enam gelar juara dunia pembalap diraih Red Bull bersama Sebastian Vettel dan Max Verstappen.
Tentu, tujuan turun gunung itu bukan cuma agar dikenal para penggemar F1 di seluruh dunia, tetapi juga supaya bisa membuktikan bahwa produknya benar-benar bermanfaat. Dengan logo banteng berwarna merah yang menunjukkan kekuatan, Red Bull ingin para konsumennya bisa seperti banteng dan para atlet olahraga ekstrim: kuat dan bertenaga.
Pada akhirnya, meski membuat keuangan boncos, langkah ini sukses membuat perusahaan mendapat uang besar. Tayangan terus-menerus yang menyoroti logo Red Bull di jet darat dan televisi membuat minuman itu laris manis di pasaran.
Bahkan, tahun 2022 lalu Banteng Merah sukses terjual 11,583 miliar kaleng. Berkat suksesnya bisnis Red Bull, sebelum meninggal pada 2022 silam Mateschitz tercatat punya US$27,4 miliar atau Rp 200-an triliun.