Derita Warga Thailand Gegara Kabut Polusi Kuning Makin Tebal
06 April 2023, 08:17:58 Dilihat: 245x
Jakarta, Universitas Narotama -- Selama beberapa minggu terakhir, Thommamoon Khowasat berusaha menjelaskan pada putrinya yang berumur empat tahun bahwa awan kuning di luar jendela mereka sebenarnya berbahaya bagi kesehatannya.
Itu adalah realita menakutkan yang kini terjadi di Thailand bagian selatan, tempat jutaan warga kesulitan bernapas.
Kebakaran lahan dan hutan yang semakin marak telah menciptakan kabut asap lebih tebal dari biasanya. Asap ini mencekik masyarakat dan membuat mereka terancam terkena penyakit pernapasan.
Di Provinsi Chiang Rai, yang menjadi destinasi favorit turis, dan bahkan di Ibu Kota Bangkok, masyarakat memeriksa tingkat kualitas udara dengan rasa khawatir setiap hari.
"Saya merasa sangat kasihan pada putri saya," kata Thommamoon. Ia mengaku belum pernah melihat asap setebal itu selama 20 tahun tinggal di Chiang Rai.
"Karena ia masih kanak-kanak, ia tidak tahu. Dia pikir itu kabut alami. Tetapi sebenarnya itu adalah asap beracun.
Thommamoon dengan tegas tidak memperbolehkan anak perempuannya keluar rumah. Namun, meskipun ia diam di dalam rumah dengan mesin penyaring udara yang terus berputar, kualitas udara tetap terganggu.
Di Rumah Sakit Chiang Rai, Dr Veera Isarathanan khawatir akan kesehatan para bayi yang terpapar polusi udara. Sebab, bayi tidak bisa menggunakan masker dan udara di kamar mereka juga bisa berbahaya, walau menggunakan mesin penyaring.
"[Sedih karena] bayi yang baru lahir harus menghadapi polusi seperti ini. Paru-paru mereka baru mulai berfungsi, kata Dr Isarathanan.
Polusi udara di Thailand menjadi permasalahan setiap tahun, khususnya pada musim kemarau yang terjadi mulai November sampai Maret. Karena pada musim kemarau itu, para petani melakukan pembakaran lahan untuk perluasan pertanian tebu dan padi.
Namun tahun ini, asap polusi semakin parah.
'Warga Mae Sai hidup dalam kesengsaraan'
Pada Jumat (10/3), pihak otoritas kesehatan Thailand melaporkan selama sembilan minggu pertama tahun ini, sebanyak 1,3 juta warga mengidap penyakit pernapasan yang disebabkan oleh polusi udara.
Sekitar 200.000 kasus dilaporkan terjadi pada pekan pertama Maret 2023, ketika kabut udara menjadi semakin parah.
Di Chiang Rai, kabut asap yang tebal menutupi pegunungan dan pepohonan hijau menjadi abu-abu.
Video yang diambil dengan dron di atas taman-taman dan jalanan kota menunjukkan gambar yang tak bisa dikenali, gedung-gedung tak terlihat lagi.
Level partikel berbahaya PM 2,5 juga telah naik tinggi sekali - ini adalah partikel polusi udara yang sangat kecil sehingga bisa terhirup paru-paru dan dibawa aliran darah.
Terekspos partikel PM 2,5 dapat menyebabkan rasa terbakar dan gatal pada mata dan kulit, batuk-batuk, dan sesak napas. Semua gejala ini bisa lebih parah untuk mereka yang sudah punya penyakit jantung atau paru-paru bawaan.
Di Chiang Rai, truk pemadam kebakaran dikirim pekan ini untuk menyemprotkan air guna meredakan asap debu. Namun itu hanyalah solusi jangka pendek.
Pemerintah telah memperingatkan bahwa kondisi membahayakan ini akan berlanjut selama beberapa hari ke depan, dengan ramalan cuaca menunjukkan akan ada sedikit angin yang dapat menghilangkan kabut itu.
Pada Senin (27/3), sekitar 200 orang di di Distrik Mae Sai, Chiang Rai, menggelar protes di depan kantor pemerintah daerah. Mereka meminta agar pemerintah mengambil tindakan.
"Sekarang ini, warga Mae Sai hidup dalam kesengsaraan. Orang muda dan tua, hidup dengan kesusahan, kata salah satu demonstran, Somyot Nittayaroj.
Somyot mengatakan asap itu sudah menjadi semakin parah dalam dua sampai tiga tahun terakhir.
Pada hari demonstrasi itu terjadi, kualitas udara di beberapa area Chiang Rai sudah hampir 125 kali lipat melebihi batas untuk udara yang aman dihirup menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Para pengunjuk rasa mengatakan Thailand harus bernegosiasi dengan Myanmar dan negara-negara tetangga lainnya di mana pembakaran pertanian berkontribusi terhadap kabut asap.
Data satelit menunjukkan titik api paling banyak berada di Myanmar, disusul Laos. Kebakaran juga terlihat di Kamboja dan Vietnam.
Namun, sebagian besar dari polusi itu berasal dari sumber yang lebih dekat.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha meminta agar para pembuat kebijakan mengejar pelaku kebakaran hutan dan bahwa terdapat undang-undang yang membatasi pembakaran lahan.
Tetapi, masalahnya kebanyakan larangan ini diabaikan. Bagi para petani, membakar petak mereka merupakan cara termudah dan termurah untuk membuka lahan.