Menerka Kekuatan KIB Kala Golkar Paksa Usung Airlangga Jadi Capres
05 Agustus 2022, 08:45:44 Dilihat: 218x
Jakarta, -- Partai Golkar menegaskan bakal mengusung Ketua Umum Airlangga Hartarto sebagai calon presiden di Pilpres 2024 mendatang. Menurut Waketum Golkar Bambang Soesatyo, keputusan itu merupakan hasil Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) dan sudah bersifat final.
Jika menilik hasil survei beberapa bulan terakhir, elektabilitas Airlangga tak pernah masuk ke dalam tiga besar. Hasil survei Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC) bulan Juli misalnya, menempatkan Airlangga di posisi kelima dengan elektabilitas 3,59 persen.
Angka ini sudah terbilang tinggi. Sebab dalam survei Indopol awal bulan Juli, Airlangga hanya menduduki posisi sembilan dengan elektabilitas tak lebih dari satu persen.
Pengamat Politik Universitas Padjajaran Idil Akbar mengungkapkan keputusan Golkar untuk mengusung Airlangga ini akan berdampak pada langkah politik Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang juga diisi PPP dan PP.
Idil menilai KIB berpotensi bubar akibat keputusan ini, sebab PAN dan PPP sebagai anggota koalisi juga melakukan perhitungan politik dengan melihat elektabilitas Airlangga.
Pasalnya, Airlangga tak memiliki jaminan kuat untuk memenangkan kandidasi capres. Menurut Idil keputusan Golkar untuk mengusung Airlangga tak begitu menguntungkan bagi KIB.
"Kemungkinan kalau memaksakan, [KIB] akan bubar di tengah jalan juga sangat mungkin, bagaimanapun setiap partai politik berupaya untuk menang. Semua partai politik bertujuan jadi pemenang," ujar Idil saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (4/8).
Idil bahkan menilai memaksakan Airlangga jadi capres berpotensi menimbulkan gejolak di internal Partai Golkar. Ia tak yakin Airlangga merupakan figur yang pas menjadi capres dari partai berlambang pohon beringin itu.
Lebih Baik Tak Paksakan Diri
Pengamat Politik Charta Politika Yunarto Wijaya pun mengatakan KIB berpotensi bubar jika tiap partai kukuh mengusung ketua umum masing-masing. Yunarto menyebut pencalonan presiden dengan mengusung kader salah satu partai justru akan menjadi kerugian besar bagi partai lain dalam koalisi.
Ia menuturkan setidaknya ada dua syarat yang perlu dipenuhi untuk koalisi mengajukan capres. Pertama, calon yang kuat dan kedua, keuntungan seimbang yang akan didapatkan partai anggota koalisi.
Yunarto melihat ketum partai anggota KIB, Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, dan Suharso Monoarfa, tidak memiliki elektabilitas kuat untuk jadi capres.
"Peluang untuk sosok yang bukan ketum atau kader partai itu malah lebih mungkin untuk dijadikan capres, karena tidak akan merugikan atau menguntungkan salah satu partai," kata Yunarto.
Menurutnya, jika KIB pada akhirnya berkompromi dan mencalonkan salah satu kader partai, salah satunya Airlangga, menaikkan elektabilitas figur menjadi pekerjaan rumah besar.
Ia berpendapat mesin partai dan calon wakil presiden adalah faktor sekunder dalam keterpilihan presiden.
"Suara mesin partai itu adalah faktor sekunder, elektabilitas sosok itu dalah faktor primer. Jadi ketika elektabilitas sosok yang diajukan rendah walaupun mesin politiknya kerja, itu tidak akan mampu untuk menutupi," ujar Yunarto.
Yunarto mengungkapkan tak ada sosok cawapres yang mampu mendongkrak capres dengan elektabilitas yang rendah. Ia mengatakan 'magnet utama' dalam pilpres adalah sosok capres itu sendiri.
Namun, Yunarto tak sepakat dengan Idil soal potensi gejolak di internal Golkar. Menurut dia, perpecahan di tubuh Golkar yang beberapa kali terjadi bukan disebabkan pencapresan.
Ia menyinggung soal perseteruan antara Abu Rizal Bakrie dengan Agung Laksono yang justru bukan berkaitan dengan pencapresan kader.
Sementara itu, hasil perolehan suara Golkar di tengah gejolak internal itu tetap menduduki tinggi. Yunarto menilai, berdasarkan sejarah, Golkar adalah partai yang fleksibel dan tidak bergantung pada figur atau tokoh tertentu.
"Golkar ini partai yang besar karena infrastruktur, bukan partai tokoh. Bukan partai besar karena ketumnya atau capresnya, tapi ketika dia kalah dalam pilpres, dia nggak pernah terlempar dari tiga besar. Karena partai ini besar sebagai sebuah infrastruktur yang sudah 30 tahun dan menguasai infrastruktur puluhan tahun," jelas Yunarto.
Karena itu, Yunarto menegaskan, ketimbang Golkar memaksakan diri agar kadernya bisa maju dalam Pilpres, akan lebih menguntungkan jika Golkar melakukan penguatan infrastruktur partai.