Wacana Presiden 3 periode dan Momen Kejatuhan Soeharto
09 Maret 2022, 12:20:51 Dilihat: 266x
Jakarta, -- "Bapak Soeharto masih pantas memimpin negara ini dan rakyat mengharapkan Bapak Soeharto untuk bersedia menjadi presiden berikutnya," ucap Ketua Umum Partai Golkar Harmoko saat bertemu Presiden Soeharto jelang pemilihan presiden 1998.
Percakapan itu terekam dalam buku Jejak kudeta 1997-2005, Catatan Harian Letnan Jenderal (Purn) TNI Djadja Suparman.
Harmoko begitu getol mendesak Soeharto untuk kembali mencalonkan diri sebagai presiden. Pada peringatan hari ulang tahun Golkar, 20 Oktober 1997, Harmoko menyampaikan pidato panjang lebar untuk meyakinkan Soeharto maju kembali.
Dia pun menindaklanjuti pidato dengan Safari Ramadan. Setelah kegiatan itu, Harmoko kembali bicara kepada Soeharto. Kata Harmoko, rakyat di berbagai daerah masih menginginkan Pak Harto untuk menjadi presiden.
Walaupun demikian, keraguan awalnya menyelimuti Soeharto. Sebagian kalangan percaya Soeharto mau menyudahi eranya. Dia pun sempat bertanya ke Harmoko dan sejumlah elite Golkar apakah rakyat masih ingin dipimpin olehnya.
Harmoko dan para menteri lain pun begitu ngebet mendorong Soeharto maju lagi. Bahkan, Harmoko mengklaim mayoritas rakyat Indonesia mendukung pencalonan kembali Soeharto pada Sidang Umum MPR pada Maret 1998.
Dorongan pun juga diberikan lima fraksi MPR RI saat itu. Harian Kompas mencatat pimpinan 5 fraksi MPR RI sowan ke Cendana pada 8 Maret 1998, pada saat sidang berjalan di MPR.
Pada pertemuan sekitar dua jam itu, perwakilan Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP), Fraksi Karya Pembangunan (F-KP), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI), Fraksi Utusan Daerah (F-UD), dan Fraksi ABRI (F-ABRI) bergantian menghadap Soeharto. Mereka bersuara bulat: meminta Soeharto untuk bersedia dicalonkan lagi.
Setelah pertemuan itu, Soeharto pun memutuskan untuk maju sekali lagi. Pak Harto memegang prinsip tinggalglanggang colong playu, tidak mengelak dari kepercayaan rakyat demi kepentingan negara dan bangsa.
Pada 1998, Soeharto pun kembali mencalonkan diri. MPR kembali memilih "The Smiling General" sebagai presiden pada 10 Maret. Dia pun dilantik pada hari berikutnya.
Meski begitu, periode baru kepemimpinan Soeharto tak berlangsung lama. Sekitar 70 hari setelah dilantik, Soeharto lengser dari jabatan presiden. Dia mengundurkan diri usai pengunduran diri para menteri dan demonstrasi besar-besaran.
Yang paling menyakitkan bagi Soeharto mungkin adalah sikap anak emasnya, Harmoko. Pria yang membujuknya mencalonkan diri menjadi sosok yang paling keras memintanya turun dari jabatan.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," ucap Harmoko pada jumpa pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, 18 Mei 1998.
Situasi politik belakangan ini mengingatkan saya pada momen kelengseran Soeharto itu. Usulan tiga ketua umum partai politik kepada Jokowi untuk menunda Pemilu 2024, menurut saya, mirip dengan manuver Harmoko di akhir 1997 hingga awal 1998.
Rayuan yang dipakai pun sama: klaim bahwa rakyat menginginkan presiden melanjutkan pemerintahannya. Padahal, tidak sedikit kelompok yang menentang gagasan tersebut.
Posisi Jokowi pun mirip-mirip dengan Soeharto. Saat ini, sebanyak 82 persen kursi DPR dikuasai partai-partai pendukung Jokowi. Pada 1997, Soeharto menguasai 80 persen parlemen lewat Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI.
Memori Aksi Harmoko
Presiden Joko Widodo perlu hati-hati merespons desakan para elite politik untuk menunda--atau mungkin lebih cocok disebut membatalkan-- Pemilu 2024. Bukan tidak mungkin para ketum parpol itu, dan juga orang-orang yang getol kampanye Jokowi 3 periode, melakukan hal yang sama dengan Harmoko.
Para pengusul penundaan Pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan Jokowi tak lebih dari bandit-bandit pengembara (roving bandits) dalam konsep Mancur Olson. Mereka datang, merampas hak rakyat, dan melarikan diri tanpa menyisakan apa pun.
Saya khawatir mereka hanya memanfaatkan momentum untuk menghasut Jokowi mengangkangi demokrasi. Jika berhasil, mereka bisa untung. Jika tidak berhasil, Jokowilah yang jadi sasaran tembak.
Yang saya lebih khawatir adalah Jokowi termakan bujuk rayuan menunda Pemilu 2024. Jika itu terjadi, demokrasi Indonesia yang masih muda jelas memasuki senja kala.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt telah mengingatkan kita lewat How Democracies Die bahwa kediktatoran tak selalu lahir dari kudeta. Kisah kematian demokrasi yang monumental justru terjadi melalui proses paling demokratis.
Mereka menyebut konstitusi dan lembaga berlabel demokratis lainnya tetap ada. Akan tetapi, autokrat hasil pemilu mempertahankan tampilan demokrasi sambil menghilangkan substansinya.
Levitsky dan Ziblatt juga mengingatkan sejumlah ciri diktator. Salah satunya adalah menolak aturan main demokrasi, baik melalui kata-kata maupun perbuatan.
"Banyak upaya pemerintah membajak demokrasi itu legal, dalam arti disetujui lembaga legislatif atau diterima lembaga yudikatif. Bisa jadi upaya-upaya itu bahkan digambarkan sebagai upaya memperbaiki demokrasi--membuat pengadilan lebih efisien, memerangi korupsi, atau membersihkan proses pemilu," tulis Levitsky dan Ziblatt pada buku tersebut.
Saya tentu berharap Jokowi tak memenuhi kriteria itu.
Jokowi harus sadar penundaan Pemilu 2024 bagai mengencingi reformasi dan konstitusi. Jangankan mendukung, membiarkan gagasan itu berkembang di publik saja adalah hal yang haram dalam alam demokrasi.
Jokowi perlu ingat pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyebut presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Sementara itu, pasal 22E ayat (1) UUD 1945, yang merupakan hasil reformasi, jelas-jelas menyatakan pemilu digelar 5 tahun sekali.
Saya begitu berharap Jokowi tampil di publik, kemudian tegas menolak penundaan Pemilu 2024, perpanjangan masa jabatan, penambahan periode, atau berbagai tindakan merusak demokrasi lainnya.
Tak cukup sekadar mengatakan menghormati konstitusi. Apalagi dengan ceroboh menyebut usulan penundaan Pemilu 2024 bagian dari demokrasi. Demokrasi macam apa yang menabrak konstitusi, Pak Jokowi?
Tampaknya Jokowi perlu belajar dari Barack Obama, Presiden ke-44 Amerika Serikat. Obama menolak dengan tegas melanjutkan kepemimpinan meski survei menunjukkan kepuasan publik sedang tinggi-tingginya.
Pada Juni 2015, survei CNN/ORC mencatat kepuasan terhadap Obama mencapai 50 persen, tertinggi sejak 2013. Bulan berikutnya, kepuasan publik terhadap Obama berada di angka 47 persen.
Dalam sebuah pidato, Obama percaya diri ia bisa dengan mudah memenangkan pemilu ketiga. Namun, ia mengatakan demokrasi dalam bahaya saat seorang presiden menolak berhenti setelah masa jabatannya habis.
Pendiri bangsa dan Presiden pertama Amerika Serikat George Washington juga bisa jadi panutan Jokowi dalam menghadapi godaan penundaan pemilu. Washington mewariskan moral bernegara lewat sikap tegasnya menolak perpanjangan masa jabatan.
Pada akhir periode kepemimpinan, ada dorongan agar Washington melanjutkan ke periode ketiga. Institut Sejarah Bangsa Amerika Gilder Lehrman mencatat ada sejumlah elite politik yang ikut membujuk Washington.
Salah satunya Gubernur Connecticut Jonathan Trumbull Jr. Alasan yang disampaikan Trumbull mirip-mirip dengan alasan yang disampaikan Cak Imin ke Jokowi: negara sedang terluka. Trumbull yakin nama Washington akan kembali dicalonkan dalam pemilu berikutnya.
Washington tak terpancing dengan bujuk rayu sejumlah orang dekat. Dia memutuskan untuk mengakhiri kepemimpinan usai periode kedua. Padahal, konstitusi AS tidak membatasi masa jabatan presiden.
Keputusan itu pun menjadi pakem tak tertulis untuk presiden-presiden AS berikutnya. Hanya Roosevelt yang menjabat lebih dari dua periode. Akan tetapi, setelah itu ada amandemen konstitusi AS yang membatasi kepemimpinan presiden maksimal dua periode.
Lantas apa kata Obama soal ini?
"Saya sebenarnya berpikir bahwa saya adalah seorang presiden yang cukup baik. Saya pikir apabila saya mencalonkan diri, saya akan menang. Akan tetapi, saya tidak bisa," ujar Obama dilansir CNN.
"Hukum adalah hukum dan tidak ada orang yang berada di atas hukum, sekali pun seorang presiden."