Aturan Nikah Beda Agama di Indonesia: Sah jika Sesuai Hukum Agama
08 Maret 2022, 18:17:12 Dilihat: 4249x
Jakarta, Universitas Narotama -- Media sosial dihebohkan dengan foto viral yang memperlihatkan prosesi pernikahan dua mempelai berbeda agama di sebuah gereja di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Mempelai pria beragama Katolik, sedangkan mempelai perempuan beragama Islam. Mempelai perempuan turut memakai hijab ketika menjalani proses pernikahan tersebut.
Kedua mempelai turut berfoto dengan latar belakang simbol salib di sebuah gereja. Tampak mereka didampingi pihak keluarga masing-masing, seorang pendeta, dan saksi pernikahan.
Peraturan soal pernikahan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 1. Aturan itu berbunyi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu."
UU tentang Perkawinan itu menitikberatkan pada hukum agama dalam melaksanakan perkawinan, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama.
Artinya, bila hukum agama tak memperbolehkan perkawinan beda agama, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Boleh atau tidaknya perkawinan beda agama tergantung pada ketentuan agamanya.
Hal itu berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam yang telah mengatur perkawinan antarpemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pasal 40 huruf (c ) Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Mahkamah Konstitusi (MK) juga sempat menolak permohonan pengujian Undang-Undang tentang Perkawinan pada 2015 lalu.
Gugatan itu dilayangkan lantaran para penggugat menilai perkawinan beda agama tidak sah oleh negara dalam aturan tersebut. Penggugat menganggap tak diperbolehkan pernikahan beda agama melanggar hak konstitusional warga negara.
Melansir artikel Nur Asiah (2015) berjudul "Kajian Hukum terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam", terdapat dua cara menikah beda agama di Indonesia.
Cara pertama adalah salah satu pihak mempelai melakukan "perpindahan agama secara sementara". Lalu, mempelai itu mengikuti upacara perkawinan yang sah berdasarkan salah satu agama. Setelah menikah, masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing.
Namun, upaya ini dianggap sebagai penyelundupan hukum untuk menyiasati secara hukum ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Cara ini pun sangat tidak disarankan.
Cara kedua, bisa ditempuh berkat Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986, Kantor Catatan Sipil memperbolehkan untuk melangsungkan pernikahan beda agama.
Di Indonesia terdapat dua lembaga yang bertugas mencatat pernikahan, yakni Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama (KUA).
Putusan itu dikeluarkan MA dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh pemohon perempuan beragama Islam dengan pasangannya beragama Kristen Protestan.
Dalam putusannya itu, MA membolehkan keduanya menikah beda agama, karena pasangan dianggap tidak menghiraukan peraturan agama, sehingga tidak ada halangan untuk menikah secara sah.
Artinya,pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya (Islam) sehingga Kantor Catatan Sipil dapat melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut sebagai dampak pernikahan beda agama yang dilangsungkan.
Dengan demikian, semula pasangan yang berbeda agama itu tidak perlu melakukan penyelundupan hukum dengan mengganti agama sementara untuk menikah. Namun bisa melangsungkan perkawinan tanpa berpindah agama.