ASEAN dan AUKUS vs China, RI Bak Menunggang Kuda Tua
24 November 2021, 09:17:16 Dilihat: 211x
Jakarta, -- Di tengah ancaman perang dingin imbas kesepakatan kapal selam nuklir AUKUS, banyak pihak mempertanyakan kekuatan ASEAN yang mulai tercerai berai dikoyak kepentingan. Namun, sejumlah pengamat menganggap RI masih harus menunggangi ASEAN sebagai 'kuda diplomasi'.
Pertanyaan ini mulai mencuat ketika Australia mengumumkan bakal membangun kapal selam nuklir berdasarkan kerja sama dengan Amerika Serikat dan Inggris dalam kesepakatan AUKUS.
Kesepakatan ini dikhawatirkan dapat memicu perlombaan senjata akibat kehadiran variabel "nuklir" di kawasan, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan di antara negara-negara kawasan.
Negara-negara lantas akan terus berlomba memperkuat pertahanan. Para pengamat pun mulai menyoroti bahwa imbasnya, bukan tak mungkin anggaran negara yang seharusnya dialokasikan untuk pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19 dialihkan ke sektor pertahanan.
Para pakar menganggap AS sebenarnya membentuk AUKUS ini untuk mengimbangi kekuatan China yang kian besar di kawasan Indo-Pasifik. Sebagai kawasan di pusaran persaingan kekuatan China dan AS ini, langkah ASEAN tentu menjadi sorotan.
Namun kini, ASEAN sendiri tercerai berai karena kepentingan masing-masing. Sebagai sekutu lama AS, negara-negara seperti Singapura dan Filipina condong mendukung AUKUS, sementara Indonesia dan Malaysia menyuarakan penolakan mereka.
Pakar hubungan internasional dari Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, mengaku tak kaget ketika ASEAN terpecah. Ia sendiri sudah memprediksi perpecahan ini sejak beberapa tahun lalu.
"Indo-Pasifik ini secara umum, kepentingan ekonomi negara ASEAN sudah bercabang. Masing-masing mencari profit yang sebesar-besarnya dari pertumbuhan ekonomi di kawasan dan dimainkan oleh banyak negara besar. Jadi, masing-masing berusaha mencari titik kuat," ujar Dinna kepada CNN Indonesia TV.
Dinna menganggap Indonesia terlambat mengantisipasi perpecahan ASEAN ini. Menurutnya, makna mekanisme multilateral dan regional seperti ASEAN akan kian tipis.
"Negara-negara yang merasa lebih mampu dari yang lain, mereka akan mencari jalan selamat sendiri. Sementara yang tertinggal, konsekuensinya program rebound pasca-Covid, seperti APBN, pajak, itu akan digunakan untuk memperkuat persenjataan," tutur Dinna.
Ia kemudian berkata, "Situasi bisa sangat buruk buat negara-negara yang secara ekonomi tertinggal."
Melihat gelagat ini, Dinna menganggap Indonesia tak cukup bergantung pada pernyataan-pernyataan kecaman karena kekuatan AUKUS dan China sangat besar.
"Kita sudah harus melakukan pendekatan alternatif. Kita seharusnya tidak mendekat ke negara-negara besar, tapi justru ke negara-negara yang akan sangat terimbas negatif dari pertentangan negara-negara besar yang masing-masing berusaha mencari aliansi dan cari selamat sendiri," tutur Dinna.
Ia kemudian menjabarkan negara-negara yang bisa menjadi fokus Indonesia, seperti Timor Leste, juga Brunei, Myanmar, yang belum menegaskan posisinya di kawasan. Ada pula Bangladesh, Sri Lanka, dan Pakistan.
"Itu negara-negara yang sudah jelas berhadapan dengan negara-negara kekuatan AS, dan mereka enggaksreg. Mereka bisa dijadikan kawan. Bukan lagi dengan kekuatan militer, tapi alternatifnya apa? Yang harus disoroti, pembangunan ekonomi harus dibangun kesetaraan," tutur Dinna.
Dinna menegaskan bahwa sikap RI mengeluarkan pernyataan-pernyataan waspada perang memang sudah selayaknya disampaikan, tapi itu saja tak cukup.
Menurutnya, Indonesia juga harus mulai mempertajam efek non-militer agar dunia dapat melihat perkembangan di kawasan ini secara utuh.
"Sering kali jika bicara soal isu-isu besar, wajah manusianya tidak kelihatan, padahal perjuangan Indonesia sejak KAA adalah mengedepankan wajah kemanusiaan, wajah negara-negara berkembang yang selalu at the mercy of negara besar yang berlomba dan seakan dunia hanya soal itu," ucapnya.
"Bahasa sederhana yang ditargetkan kepada masyarakat Australia, Korsel, Jepang, itu jauh lebih menarik, juga ke negara-negara yang belum jelas posisinya, tapi juga bakal tidak diuntungkan ketika perang senjata ini memuncak."
Berbeda dengan Dinna, pakar hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu, menganggap Indonesia masih harus menggunakan ASEAN sebagai kuda diplomasinya.
Aleksius tak memungkiri bahwa arus pragmatisme di negara-negara anggota ASEAN saat ini memang besar, terutama karena dalam masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19.
Namun, ASEAN tetap menjadi senjata pamungkas negara kawasan untuk menghadapi raksasa dunia secara kolektif. Menurutnya, Indonesia tak bisa bergerak sendiri, mengingat isu ini memang berpengaruh pada stabilitas kawasan.
"Arus pragmatisme itu besar sekali karena semua negara sekarang fokus pada recover pandemi. Pemulihan pandemi bergantung pada negara besar; kepada China sudah bukan rahasia lagi, kepada AS, Jepang. Jadi, kalau ada semacam reluctant, itu bisa dimengerti," ucap Aleksius.
Ia kemudian berkata, "Namun, jangan sampai negara-negara ASEAN membuat ASEAN itu sendiri tidak relevan. Mereka punya senjata apa untuk menghadapi negara-negara besar secara kolektif? Kalau mereka kehilangan itu, mereka kehilangan semuanya."
Secara khusus untuk Indonesia, Aleksius menganggap kehadiran ASEAN penting. Pasalnya, Indonesia punya kepentingan untuk menghadirkan keseimbangan kekuatan negara-negara besar, seperti China dan AS, agar tak ada yang lebih dominan di kawasan.
"Keunggulan ASEAN itu meski negara kecil menengah, mereka bisa mengundang negara-negara besar itu untuk duduk bersama untuk mengatasi ini, bukan mengandalkan kekuatan militer karena kalau menggunakan kekuatan militer bisa terjadi hal yang di luar dugaan," katanya.
Aleksius lantas menjabarkan berbagai forum ASEAN dan mitra-mitranya, seperti ASEAN+China, ASEAN+Amerika Serikat, hingga ASEAN+Rusia.
Belakangan, Indonesia juga membentuk Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang beranggotakan 6 dari 10 negara ASEAN ditambah Australia, China, dan Selandia Baru.
"Ada tantangan di antara negara ASEAN sendiri beda pandangan, tapi mekanisme KTT yang diadakan secara reguler tetap ada. Indonesia adalah negara pendiri ASEAN, pemimpin informal ASEAN. Memang diplomasi kita harus lebih aktif, memberikan posisi yang proporsional bagi ASEAN untuk stabilitas kawasan," tuturnya.
Salah satu cara untuk menunjukkan sentralitas ASEAN menurut Aleksius adalah dengan mengeluarkan komunike atau pernyataan bersama mengenai AUKUS.
"Di dalam komunike itu jangan sampai menyebut nama, tapi diskursus seperti stabilitas regional, pembangunan inklusif, terbuka, transparan, menghormati hukum laut internasional. Itu adalah diksi-diksi yang harus disuarakan oleh ASEAN demi kepentingan bersama, tanpa menyebut China, Australia, Amerika," katanya.
"Pernyataan normatif general tetap diperlukan supaya ASEAN tetap dirasakan kehadirannya. Kalau mereka pun tidak bisa menghasilkan yang minimal seperti itu, mereka akan kehilangan perannya, jadi tidak relevan dan itu tidak boleh terjadi."
Aleksius beranggapan, Indonesia harus mengambil peran agar ASEAN tak kehilangan rohnya sebagai entitas penting di kawasan Asia Tenggara.
"Kamu enggak berperan juga nanti kamu jadi objek rebutan orang. Ya harus aktif. Aktif menentukan Anda sendiri, siapa Anda, Apa kepentingan Anda, dan bagaimana Anda merespons situasi di sekeliling. Anda Jangan diam," ucapnya.
"ASEAN masih menjadi platform yang penting meskipun tidak optimal, tapi kalau kamu kehilangan itu, you lose everything. Tidak optimal, ya betul, tapi kita tidak mau kehilangan itu karena itu platform penting."