Lagu Lama Pemerintah Salahkan Hujan Penyebab Bencana Banjir
12 November 2021, 09:17:37 Dilihat: 212x
Jakarta, Universitas Narotama -- Sejumlah daerah di Indonesia dilanda banjir dalam beberapa pekan terakhir. Banjir dialami mulai dari DKI Jakarta, Sintang Kalimantan Barat, Serdang Bedagai (Sergai), Simalungun Sumatera Utara, hingga Gresik Jawa Timur.
Di Sintang misalnya, banjir yang masih terjadi hingga 20 hari lebih itu disebut-sebut diakibatkan oleh deforestasi dan pertambangan.
Sementara itu pemerintah atau BNPB masih kerap mengatakan bahwa banjir disebabkan faktor cuaca, dalam hal ini curah hujan yang tinggi. Salah satunya, BNPB menyebut intensitas hujan yang tinggi sebagai penyebab banjir di Sintang, Kalimantan Barat.
BNPB beranggapan bahwa intensitas hujan yang tinggi menyebabkan air di wilayah hulu Sungai Kapuas meluap. Sehingga, terjadi banjir.
Awal tahun, ketika banjir juga menerjang sejumlah wilayah di Kalimantan Selatan, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), MR Karliansyah menyebut penyebabnya adalah anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS Barito wilayah Kalsel.
Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana menyebut dalih pemerintah tersebut terlalu menyederhanakan penyebab bencana banjir.
"Saya kira terlalu simplifikasi ketika mengatakan intensitas hujan tinggi sebagai penyebabnya. Kalau begitu harusnya tiap tahun dan tiap empat tahun banjirnya besar dan seintens seperti sekarang, bertahan lebih dari dua pekan. Tapi kan faktualnya tidak seperti itu, artinya ada faktor perubahan lain," tuturnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (11/11).
Wahyu menyebut pemerintah terkesan lepas tangan jika selalu menyalahkan curah hujan sebagai penyebab banjir.
"Buat saya pemerintah enggak hanya menggampangkan, menurut kami lepas tanggung jawab," katanya.
Wahyu kemudian menilai pemerintah sebenarnya bukan tidak tahu penyebab bencana banjir di berbagai wilayah. Wahyu pun menyoroti soal kerusakan ekosistem , khususnya gambut. Sebab, gambut sejatinya memiliki fungsi hidrologis yang tinggi.
Ia memaparkan, di musim kemarau gambut seperti tumpukan gabus kering yang mudah sekali terbakar, sehingga kerap dibakar dengan tujuan pembukaan lahan.
Padahal, secara teori, gambut yang tumbuh secara baik memiliki 13 kali daya tampung massa air. Artinya, lanjut Wahyu, jika ekosistem gambut rusak, maka ada 13 kali lipat daya tampung air yang hilang di wilayah tersebut.
"Sehingga menurut kami bukan ketidaktahuan, tapi pengabaian, agak keras kami bilang kalau cara pembukaan lahannya seperti itu, itu merencanakan bencana," tutur Wahyu.
Terlebih, konsesi untuk tambang hingga perkebunan sawit, misalnya, juga sering berada di dalam ekosistem hutan, termasuk gambut.
"Itu yang kemudian menjadi PR kita, pemerintah akhirnya dalam konteks ini membiarkan merencanakan bencana," ucap Wahyu.
Sementara itu, Climate and Energy Researcher, Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari menyampaikan bahwa krisis iklim yang terjadi saat ini turut berpengaruh pada terjadinya bencana banjir.
Ia mengutip data IPCC, sebuah panel ilmiah untuk perubahan iklim global yang mencatat kenaikan suhu bumi sebesar 1,1 derajat. Kenaikan ini kemudian berpengaruh terhadap curah hujan.
"Dan memang dengan kenaikan suhu 1,1 derajat itu bisa mengakibatkan daya tangkap uap air (bertambah) di atmosfer. Nah itu apa artinya? Ya berarti semakin naik suhunya (bumi) itu semakin banyak penguapan yang terjadi, dan awan-awan semakin banyak terbentuk. Nah itulah yang memacu curah hujan kita tinggi dan jadi ekstrem," tutur Adila kepada CNNIndonesia.com.
Adila berujar curah hujan ekstrem yang terjadi di Indonesia tak diimbangi dengan ketersediaan daya tampung dan daya dukung lingkungan. Ini, lanjutnya, diakibatkan banyak aktivitas pembangunan.
Terlebih, kata Adila, berdasarkan data IPCC pada Agustus lalu, wilayah Asia Tenggara bakal terjadi higher flood level atau peningkatan level banjir.
"Karena ada compound impact dari si krisis iklim digabung dengan aktivitas manusia, nah itu yg membuat si higher flood level kita semakn tinggi," ucap Adila.
"Jadi memang ada campur tangan aktivitas manusia juga, dan yang paling parah si krisis iklim ini memperparah juga," imbuhnya.
Adila pun menyoroti soal pemerintah yang belum menyiapkan langkah adaptasi dalam mengantisipasi dampak dari krisis iklim ini. Padahal, adaptasi ini penting untuk mengurangi risiko ataupun dampaknya.
"Termasuk bagaimana pemerintah kita saat ini harusnya menciptakan sense of crisis karena kita sedang di krisis iklim, tapi kalau ditarik ke pemerintah pusat pun tidak ada sense of crisis, belum tercipta di tataran pemerintah," kata Adila.
Adila juga menyebut bahwa kebijakan pemerintah saat ini pun turut abai terhadap kondisi dan situasi iklim.
"Jadinya tidak menciptakan sense of crisis hingga ke level-level bawahnya, termasuk pemda pun juga," ujarnya.
Lebih lanjut, Adila menilai bahwa pemerintah mesti lebih serius, bahkan ambisius dalam menangani krisis iklim demi mengurangi terjadi bencana banjir.
"Apalagi Indonesia, kita itu merupakan salah satu negara yang sangat rentan terhadap krisis iklim, bisa dilihat sekarang banjir di mana-mana," ucap Adila. "Perubahan kebijakan, komitmen dan pastinya komitmen itu diimplementasikan."