Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia Jadi Pahlawan Nasional
10 November 2021, 10:20:03 Dilihat: 254x
Jakarta, Universitas Narotama -- Nama Usmar Ismail tak pernah mati meski sudah 50 tahun lalu meninggal dunia akibat stroke. Ia kini akan selalu dikenang sebagai pahlawan nasional.
Gelar itu resmi diberikan oleh Presiden Joko Widodo tepat di Hari Pahlawan tahun ini, Rabu (10/11). Pemberian gelar itu diusulkan oleh Festival Film Indonesia (FFI) dan Direktur Jenderal Ditjen Kebudayaan Hilmar Farid.
Nama Usmar besar di dunia perfilman. Usmar bahkan dijuluki sebagai bapak perfilman Indonesia. Otak di balik layar itu telah membuat lebih dari 30 film sepanjang hidupnya.
Laman Badan Bahasa Kemdikbudristek mengatakan, Usmar memang punya perhatian khusus terhadap film. Sebelum menjadi sutradara, ia sering kali berkumpul di suatu gedung di depan Stasiun Tugu untuk berdiskusi mengenai seluk-beluk film.
Beberapa sohibnya yang sering diajak diskusi yaitu Anjar Asmara yang juga merupakan sutradara, Sastrawan Armijn Pane, Sutarto, dan pentolan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Kotot Sukardi.
Anjar adalah orang pertama yang menggeret Usmar masuk langsung ke dunia perfilman. Saat itu, Usmar diminta menjadi menjadi asisten sutradara (Astrada) dalam film 'Gadis Desa'. Film itu kemudian dirilis pada 1949.
Tak henti, Usmar makin getol membuat film. Setelah debut menjadi Astrada, Usmar akhirnya menyutradarai langsung puluhan film.
Beberapa di antaranya, Harta Karun (1949), Citra (1949), Darah dan Doa (1950), Enam jam di Yogya (1951), Dosa Tak Berampun (1951), Krisis (1953), Kafedo (1953), Lewat Jam malam (1954), Tiga Dara (1955), dan Pejuang (1960).
Atas kiprah jasa jasanya di dunia perfilman, nama Usmar juga diabdikan menjadi nama sebuah gedung perfilman, yaitu Pusat Perfilman Usmar Ismail yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta.
Geluti Sastra hingga Teater
Sebelum dikenal sebagai sutradara, pria kelahiran Bukittinggi ini awalnya berkecimpung di dunia sastra dan seni teater.
Bakatnya dalam sastra terlihat sejak ia duduk di bangku SMP di Simpang Haru, Padang. Saat itu, Usmar menggas suatu ide cerita untuk tampil dalam acara perayaan hari ulang tahun Putri Mahkota, Ratu Wilhelmina, di Pelabuhan Muara, Padang.
Usmar bersama kawannya, Rosihan Anwar (yang kemudian menjadi jurnalis) ingin menyajikan suatu pertunjukan dengan penampilan yang gagah, unik, dan mengesankan. Ia lantas membawa perahu dan pakaian bajak laut sewaan untuk acara itu. Namun, sayangnya, acara yang direncanakan itu gagal.
Usmar dan teman temannya baru sampai saat matahari tenggelam dalam kondisi kelelahan. Laman Kemendikbudristek menggambarkan, saat itu, mereka bahkan hampir pingsan karena kelelahan mengayuh perahu menuju Pelabuhan Muara.
Meski begitu, Rosihan Anwar melihat bakat sutradara Usmar sudah terlihat saat itu. Usmar dianggap mempunyai daya khayal demi menyajikan tontonan yang menarik.
Setelah lulus dari pendidikannya, Usmar bekerja di Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang. Pada1943, Usmar bersama kakaknya yang juga sastrawan El Hakim, Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, dan H.B. Jassin mendirikan kelompok sandiwara yang diberi nama Maya.
Maya mementaskan sandiwara sandiwara dengan teknik teater Barat. Kehadiran Maya itu kemudian dianggap sebagai tonggak lahirnya teater modern di Indonesia.
Beberapa sandiwara yang dipentaskan Maya yaitu, Taufan di Atas Asia (El Hakim), Mutiara dari Nusa Laut (Usmar Ismail), Mekar Melati (Usmar Ismail), dan Liburan Seniman (Usmar Ismail).
Profesi terakhir Usmar sebelum menjadi sutradara adalah wartawan di kantor berita Antara. Pada 1948, Usmar bahkan pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda karena dituduh terlibat kegiatan subversi.