Jakarta, Universitas Narotama -- Konferensi perubahan iklim COP26 yang digelar di Glasgow turut membahas momok kenaikan suhu Bumi yang 2,7 derajat celcius dan segala potensi bencana yang mengikuti.
Bencana-bencana yang mungkin terjadi seperti banjir yang, gelombang panas, dan risiko titik kritis berbahaya.
Namun, Bumi memiliki peluang untuk tetap berada di bawah target Perjanjian Paris tentang pemanasan global sebesar 1,5 derajat celcius.
Untuk itu dibutuhkan emisi tahunan pada 2030 menjadi 28 miliar ton lebih rendah dari apa yang direncanakan dan dijanjikan negara-negara peserta menjelang COP26.
Dilansir New Scientist, salah satu tujuan utama COP26 ini adalah untuk mendapatkan rencana baru yang lebih baik dari negara-negara peserta untuk pertama kalinya sejak Perjanjian Paris di 2015.
Terlepas dari komitmen AS, Uni Eropa, Inggris, Jepang dan negara penghasil emisi besar lainnya.
Bahkan China menjanjikan perubahan rencana formal, jika tidak dunia akan gagal untuk mencapai tujuan dalam Perjanjian Paris yakni membatasi pemanasan global hingga 1,5 atau 2 derajat celcius.
"Di sisi positifnya, kami melihat segala sesuatunya bergerak. Negara-negara secara umum telah mengajukan rencana yang lebih kuat," kata Anne Olhoff dari Technical University of Denmark sebagai salah satu penulis dalam laporan tersebut.
"Pada saat yang sama, ini terjadi terlalu lambat. Ini seperti membalikkan supertanker. Kemajuannya terlalu lambat. Kami mengambil langkah kecil alih-alih lompatan raksasa," imbuh Olhoff menambahkan.
Dari semua rencana dan janji yang pernah diucapkan menunjukkan bahwa diperkirakan ada 4 miliar ton lebih sedikit dibanding rencana awal di Paris 2014 tentang karbon dioksida dari emisi tahunan di 2030.
Namun, peluang untuk mempertahankan pembatasan pemanasan global di bawah 1,5 derajat celcius akan membutuhkan emisi tahunan mencapai 28 miliar ton lebih rendah dari janji yang telah diberikan sebelumnya.
Emisi tahunan saat ini berada di angka sekitar 40 miliar ton di mana India menjadi salah satu negara utama yang dapat sedikit mengubahnya.
"Ini jelas menunjukkan bahwa kami jauh dari target," kata Olhoff.
Optimisme lain datang dari janji jangka panjang untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050 atau 2060. Brasil, Cina, Uni Eropa, Rusia, AS, dan Inggris termasuk di antara negara dan blok yang telah membuat komitmen tersebut.
Meskipun, hanya beberapa di antaranya yang telah membuat rencana perubahan.
Jika banyak negara mengurangi emisi di tahun-tahun ke depan pada alur yang sejalan dengan target zero emisi, Olhoff menyebut dunia akan memanas sebesar 2,2 derajat celcius. Jika terjadi, target utama dalam Perjanjian Paris yang hanya 2 derajat celcius bisa terlewati, walaupun itu masih jauh dari jaminan.
"Ini adalah tanda yang menjanjikan bahwa semakin banyak negara yang mengedepankan tujuan bersih nol emisi, kecuali kita juga melihat perubahan arah yang jelas dalam emisi mereka dalam jangka pendek. Tujuan jangka panjang tetap akan diandalkan, kredibel atau bahkan layak untuk waktu yang lama," ujarnya.