Badan Kajian MPR Kritik Gagasan PPHN di Amendemen UUD 1945
25 Agustus 2021, 09:07:37 Dilihat: 142x
Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Badan Pengkajian MPR, Zulfikar Arse mengaku tidak yakin kajian Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) yang ditugaskan kepada pihaknya bisa tuntas pada awal 2022.
Menurutnya, proses pengkajian PPHN sejauh ini masih dalam tahap diskusi dengan sejumlah narasumber.
"Saya tidak yakin [selesai awal 2022]," ujar Zulfikar kepada CNNIndonesia.com, Selasa (24/8).
Dia menerangkan, proses pengkajian PPHN belum sampai pada tahap penyusunan draf. Situasi pengkajian PPHN, kata dia, masih berkutat pada masalah urgensi menghadirkan kembali PPHN.
Politikus Partai Golkar itu mengritik gagasan menghadirkan kembali PPHN. Dia mengingatkan peran PPHN sudah dihilangkan dari konstitusi telah digantikan oleh UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025.
"Saya sampaikan apa urgensinya. Jadi sejak amendemen 4 kali kan ketatanegaraan kita sudah berubah dengan MPR sudah tidak lagi lembaga tertinggi, presiden dipilih langsung, tidak ada lagi GBHN. Cuma kan diberi jalan keluar dengan UU, jadi arah pembangunan kita ada tapi letaknya di UU 17/2007," ucap anggota Komisi II DPR RI itu.
Ancaman sistem demokrasi
Pengamat politik dan pemerintahan dari The Habibie Center, Bawono Kumoro menyatakan bahwa gagasan menghidupkan kembali PPHN lewat amendemen UUD 1945 merupakan bentuk sesat pikir di kalangan elite. Menurutnya, gagasan tersebut berpotensi mengakibatkan kemunduran Reformasi.
"Gagasan menghidupkan kembali GBHN melalui amandemen UUD 1945 seolah-olah demi kepastian dan keberlanjutan agenda pembangunan merupakan bentuk sesat pikir," ucap Bawono kepada CNNIndonesia.com, Selasa (24/8).
Dia menyatakan, amendemen UUD 1945 yang telah berlangsung sebanyak empat kali telah membuat Indonesia menganut sistem presidensial.
Menurutnya, sistem presidensial telah terbukti berhasil dalam membawa Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis karena presiden bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung, bukan kepada lembaga negara lain.
Bawono menilai, menghidupkan kembali GBHN dengan nama PPHN akan merusak sistem yang telah berjalan di Indonesia sejak era Reformasi.
"Jika GBHN kembali dihidupkan maka pendulum sistem pemerintahan akan bergerak kembali ke arah parlementer dan merusak sistem sudah dibangun selama ini," tuturnya.
Lebih lanjut, Bawono meminta MPR belajar sejarah. Menurutnya, membangkitkan kembali GBHN akan membuka pintu upaya memakzulkan presiden terbuka. Bawono berkata, menghidupkan kembali GBHN akan membuat posisi presiden sekadar pelaksana tugas dan menghilangkan makna presiden sebagai kepala negara.
"Apabila kita tidak belajar dari sejarah dengan membangkitkan GBHN maka peluang pengulangan sejarah melalui pemakzulan presiden besar kemungkinan bisa terjadi lagi di masa mendatang," ucap Bawono.
Wacana amendemen UUD 1945 disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam Sidang Tahunan MPR pada Senin (16/8). Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian merespons positif wacana tersebut.
Namun, suara sembilan partai politik di Senayan terbelah. Wakil Ketua MPR Fraksi Demokrat Syarief Hasan mengatakan menghidupkan PPHN melalui amandemen UUD 1945 tidak perlu. PKS menilai saat ini bukanlah momentum tepat untuk membahas amandemen UUD 45. Sementara itu, Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay menilai sebaiknya wacana amandemen UUD 1945 ditahan dulu.
Partai Nasdem juga menolak amendemen UUD 1945 dan perpanjangan masa jabatan Presiden. Akhir Juni 2021, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh sampai menggelar pertemuan via daring dengan beberapa anggota fraksi Nasdem.
"Pandemi, sehingga belum perlu untuk dilakukan amandemen konstitusi pada saat sekarang ini," kata Taufik Basari, Ketua Fraksi NasDem.