Hujan Kritik untuk Nadiem Terkait Terobosan Pendidikan
06 Mei 2021, 09:00:41 Dilihat: 1048x
Jakarta, -- Sejumlah pemerhati pendidikan mengkritik hingga membantah pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim yang mengaku telah melakukan sejumlah terobosan dalam bidang pendidikan setelah hampir dua tahun menjadi menteri.
Awalnya, Nadiem menjawab pertanyaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memperingati Hari Pendidikan Nasional pada Minggu (2/5) lalu. Jokowi bertanya soal terobosan mantan bos Go-Jek itu selama menjadi Mendikbud.
Nadiem mengatakan memiliki beberapa terobosan, mulai dari Asesmen Nasional, Guru Penggerak, perbaikan sistem penyaluran dan pelaporan dana BOS, Kampus Merdeka, hingga bagi-bagi laptop lewat program digitalisasi sekolah.
"Bekerja sama dengan Menkominfo untuk memastikan sekolah jadi prioritas koneksi internet. Dari Kemendikbud kami siapkan program distribusi laptop terbesar yang pernah terjadi," kata Nadiem.
Digitalisasi sekolah adalah salah satu program unggulan Nadiem sejak menjabat sebagai Mendikbud pada 2019 lalu. Program itu sempat disampaikan Nadiem dalam Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI awal September 2020 lalu.
Untuk program itu, Kemendikbud rencananya akan menggelontorkan anggaran hingga Rp1,49 triliun pada 2021.
Selain bagi-bagi laptop dan komputer ke sekolah, digitalisasi juga dilakukan dengan penguatan platform digital dengan nilai anggaran sebesar Rp109,85 miliar. Lalu, Rp74,02 miliar untuk bahan belajar dan media pendidikan digital.
Praktisi pendidikan Indra Chrismidiaji mempertanyakan program tersebut. Alih-alih bicara digitalisasi, ia mempertanyakan keseriusan pemerintah dan Kemendikbud, kini Kemendikbudristek, yang justru ngotot ingin cepat-cepat menggelar pembelajaran tatap muka di tengah pandemi Covid-19.
Menurut Indra, keinginan itu justru bertolak belakang dengan program digitalisasi yang dicetuskan Kemendikbud.
"Buktinya udah tiga kali ngeluarin SKB (Surat Keputusan Bersama) 4 menteri isinya supaya (belajar) tatap muka kan. Dan di setiap penjabaran dikatakan pembelajaran tanpa tatap muka itu menghasilkan learning loss. Itu, berdampak buruk," kata Indra kepada CNNIndonesia.com, Senin (3/5).
"Berarti sama aja dia mengatakan digitalisasi itu enggak bagus. Kan sama aja gitu kan?" ujarnya menambahkan.
Selain itu, kata Indra, program bagi-bagi laptop tak bisa sepenuhnya disebut digitalisasi. Menurutnya, bagi-bagi laptop hanya satu bagian kecil dari keseluruhan rencana digitalisasi pendidikan.
Indra mengatakan pada prinsipnya digitalisasi harus ditopang dengan 3I. Pertama, infrastruktur yang mencakup bukan saja laptop atau perangkat, tetapi juga listrik maupun konektivitas.
Kedua infostruktur, mencakup upaya pemerintah agar membuat informasi menjadi terstruktur. Informasi yang bukan hanya didapat lewat browser di mesin pencari google, namun dibuat dengan mekanisme struktur seperti aplikasi berbasis lembaga.
Ketiga infokultur, upaya agar informasi dapat diakses di mana pun, kapan pun, dan lewat perangkat apapun. Menurutnya, informasi yang tradisional dan lewat digital memiliki kultur yang berbeda jika diukur berdasarkan sejumlah parameter tersebut.
"Kulturnya ini mengenal yang namanya any time, any where, any device. Sedangkan kalau tradisional enggak bisa any time, any where, any device," kata Indra.
"Kan belum ada tentang learning manajemen sistem mana? Kemudian bagaimana informasi itu terstruktur itu bagaimana? Ya kan? Kemudian bagaimana infokultur bagaimana," ujarnya menambahkan.
Selain itu, kata Satriwan, program ini menemui banyak kendala karena sepenuhnya dilakukan secara daring selama pandemi. Kondisi itu menyebabkan banyak para peserta di daerah dihadapkan dengan persoalan infrastruktur, jika sewaktu-waktu kehilangan mati lampu atau internet.
Menurutnya, persoalan itu tak bisa dilepaskan dari kondisi banyak guru atau peserta di daerah atau pelosok. Karena bergantung pada infrastruktur, guru penggerak juga terkesan eksklusif sebab tak semua daerah memiliki infrastruktur yang sama.
"Terkesan tidak mengafirmasi justru guru-guru yang marjinal, tidak punya gawai dan laptop. Dan di daerah tidak ada listrik," kata Satriwan.
Satriwan meminta Kemendikbud tak buru-buru menyelesaikan program tersebut di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Ia mengaku banyak menerima laporan dari guru yang antusias mengikuti program tersebut meski dalam keterbatasan infrastruktur.
"Saya meminta Kemendikbud bersabar agar latihan guru penggerak ini tidak dipaksakan untuk diselenggarakan di masa pandemi seperti ini. Lagi-lagi tidak akan efektif karena bergantung pada digital," katanya.
Kaji Ulang Kampus Merdeka
Sementara praktisi dan pengamat pendidikan Asep Sapaat meminta Kemendikbud berpikir ulang terkait program Kampus Merdeka. Menurut Asep, Kampus Merdeka menjadi tak efektif dalam implementasi jika tak mampu menguatkan peran strategis perguruan tinggi sebagai center of excellence.
Menurutnya, Kampus Merdeka harus dilihat melalui aspek institutional building, yakni untuk apa dan untuk siapa kampus berkhidmat. Menurutnya, kampus mesti hadir dan memberikan kontribusi pada kehidupan masyarakat dan bangsa.
"Kampus memahami jati diri sebagai institusi yang menyiapkan SDM berkualitas di berbagai bidang, menyelenggarakan pelayanan pembelajaran berkualitas bagi para mahasiswa, menyumbangkan pemikiran dan hasil riset yang bermanfaat bagi publik dengan prinsip Tridarma Perguruan Tinggi," ujar Asep.
Program Kampus Merdeka mulai dijalankan Nadiem awal 2020 lalu. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nizam mengatakan kata kunci dalam pelaksanaan Kampus Merdeka adalah inovasi dan kreativitas.
Dalam Kampus Merdeka, perguruan tinggi mendapat otonomi untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru.
Otonomi ini diberikan jika PTN dan PTS tersebut memiliki akreditasi A dan B, dan telah melakukan kerja sama dengan organisasi dan/atau universitas yang masuk dalam QS Top 100 World Universities.
Sumber: Cnnindonesia.com