Jakarta,-- Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan seleksi 1 juta guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang diselenggarakan pemerintah tidak menjawab aspirasi guru honorer.
Pasalnya, guru honorer lebih ingin diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) ketimbang hanya berstatus pegawai kontrak.
"Aspirasi guru honorer, terutama yang usia di atas 35 tahun bukan diangkat menjadi ASN dengan status PPPK, tetapi ingin diangkat menjadi PNS," kata anggota Komisi X Fraksi PAN, Zainuddin Maliki melalui pesan tertulis kepada CNNIndonesia.com, Senin (5/4).
"Selama ini mereka sudah merasa berstatus tenaga honorer daerah dikontrak tiap tahun dengan SK yang dikeluarkan pemerintah daerah. Aneh kalau diminta ikut seleksi untuk diangkat jadi ASN berdasarkan kontrak," lanjut dia.
Zainuddin menilai pengangkatan menjadi PNS merupakan penghargaan yang layak diberikan kepada guru honorer. Peta kebutuhan guru pun menurutnya memungkinkan pengangkatan tersebut dilakukan.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), guru PNS hanya menutupi 51 persen dari seluruh guru di sekolah negeri.
Sementara 33 persen lainnya diisi guru honorer, dan 4 persen sisanya diisi oleh PPPK dan lulusan CPNS 2019 yang masih dalam proses pengangkatan. Dari jumlah tersebut masih ada 12 persen atau setara 275.243 posisi guru yang belum terisi.
Sedangkan menurut Zainuddin, seleksi PPPK yang akan digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun ini bakal sarat akan masalah.
Diantaranya, formasi yang diajukan pemerintah daerah ke pusat baru mencapai setengah dari target 1 juta formasi guru yang digembar-gemborkan pemerintah.
Menurutnya masih banyak pemerintah daerah yang tidak percaya bahwa gaji dan tunjangan PPPK bakal dijamin pemerintah pusat.
"Pemda dalam hal ini masih berpegang pada Perpres No. 98 Tahun 2020 yang menegaskan bahwa gaji dan tunjangan bagi PPPK yang bekerja di instansi daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)," tuturnya.
Zainuddin mengatakan ketentuan serupa juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2021 yang menyatakan belanja pegawai bagi PPPK dibebankan pada APBD.
Ia menilai sosialisasi terkait penganggaran PPPK tidak dijelaskan dengan baik oleh pemerintah pusat. Hingga kemudian terjadi salah paham dan keengganan pemda dalam mengajukan formasi.
Sebelumnya, Direktur Jenderal GTK Kemendikbud Iwan Syahril mengatakan pihaknya sudah menganggarkan biaya sebesar Rp19,4 triliun yang bakal disalurkan pusat ke daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU).
Namun sejumlah pemerintah daerah dalam rapat bersama Komisi X pada Rabu (24/3), mengaku membutuhkan informasi dan petunjuk teknis yang formal terkait penganggaran tersebut agar persoalan gaji dan tunjangan PPPK bisa dijamin sebagai urusan pusat.
Selain terkendala ketidakyakinan pemda, seleksi 1 juta guru PPPK juga diprotes kalangan guru honorer. Forum Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non-Kategori 35 Tahun ke Atas (GTKHNK 35+) menuntut Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden untuk mengangkat guru honorer menjadi PNS.
Terpisah, Deputi Sumber Daya Manusia Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) mengatakan akan mempertimbangkan opsi afirmasi untuk memberikan kemudahan guru honorer diangkat menjadi PPPK.
Sementara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menegaskan pengangkatan guru honorer tidak bisa dilakukan tanpa seleksi. Kemudahan yang dia tawarkan hanya berupa bonus nilai untuk guru honorer di atas 40 tahun dan sudah bersertifikat.
Sumber :cnnindonesia.com