Jakarta - Pandemi telah mengakar sampai ke semua lini dan memang telah menyeret kita pada dimensi yang berbeda. Wabah ini juga sukses memforsir tenaga kesehatan dan praktisi lainnya, dua bahkan tiga kali lipat dari tuntutan biasanya. Tapi, terlepas dari masalah kesehatan, mental health, sanitasi, dan sebagainya, pendidikan juga menjadi hal yang bergeser dengan cergas.
Era disrupsi telah bergerak cepat, namun fenomena Covid-19 melesat lebih cepat dari apa yang diharapkan. Belum ada perencanaan matang untuk tenaga pendidik yang cukup technophobia (ketakutan terhadap teknologi) hingga akhirnya mereka dilepas, seiring munculnya virus mematikan ini. Sepertinya beberapa tenaga pendidik masih latah dan resisten terhadap teknologi yang dihadirkan, sementara masih banyak siswa pun mahasiswa yang harus mengelus dada karena jaringan mereka yang tak memadai di pelosok, hingga alasan lainnya.
Pak Avan Fathurrahman mungkin menjadi satu dari banyak cerita heroik yang hadir di tengah pandemi ini. Ia merupakan seorang guru SD di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Banyak hal dilematis yang dialaminya sebagai pendidik, dan satu di antaranya adalah kegelisahannya atas protokol untuk work from home, yang berimbas pada kebijakan belajar di rumah dari Menteri Pendidikan. Keterbatasan siswa dalam mengakses, bahkan memiliki perangkat komputer atau smart phone menjadi alasan tersendiri petualangan keliling rumah ini dimulai.
Selain kekhawatiran alpanya ruh akademis dalam pembelajaran daring, dia juga cukup khawatir dengan hilangnya hubungan interpersonal yang biasanya dibangun dengan siswa di dalam kelas. Entah itu nilai-nilai kepemimpinan atau nilai-nilai toleransi dalam aktivitas pembelajaran.
Hak Istimewa
Tentu, tidak semua orangtua memiliki privilese untuk mendapatkan akses dan fasilitas yang mumpuni untuk sekadar menyebar ilmu. Peggy McIntosh, seorang aktivis pada tahun 1988 mendefinisikan privilese sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh seseorang yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain. Hal ini tidak hanya mencakup ras atau gender, melainkan terbagi atas beberapa aspek aspek seperti: ras, kelas, gender, orientasi seksual, agama, pendidikan, usia, kemampuan fisik, dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, privilese pendidikan cukup dipengaruhi oleh kelas sosial. Dalam kasus ini, Pak Avan harus benar-benar memahami dan berempati dengan situasi perekonomian siswanya yang mungkin tercoret atas beberapa privilese yang ada, entah itu pendidikan atau kelas sosial. Gadget, video conference, Zoom, Google Meet, Schoology mungkin istilah dan kata-kata yang tidak lebih penting dan tidak ada harganya dibanding beras, minyak, dan menu berbuka puasa.
Sementara, saya sendiri tidak yakin apakah Pak Avan memikirkan dirinya sendiri yang harus berkeliling hingga menempuh jarak hingga 20 meter demi mencerdaskan anak-anak bangsa ini. Hanya saja, karena privilese dibangun oleh konstruksi sosial, di mata orang lain mungkin Pak Avan sangatlah jauh dari predikat berprivilese; bukan alumni universitas Ivy League, hanya berkendara motor tanpa embel-embel mobil dinas, namun ternyata mampu menghadirkan hak istimewa bagi siswa-siswinya.
Dari perspektif siswa dan orangtua lain, hak istimewa yang mereka miliki selama pandemi mungkin adalah teknologi yang canggih, serta aplikasi yang selalu update. Namun bagi siswa Pak Avan ini, kehadiran Pak Avan justru lebih dari segala privilese yang dipuja orang lain.
Terlepas dari kasus tersebut, tentu kita tidak bisa memukul rata pengorbanan Pak Avan dengan tenaga pendidik lain. Tapi setidaknya ada beberapa rencana model pembelajaran daring yang direkomendasikan oleh World Bank --yang menitikberatkan pada pemanfaatan produk-produk yang sudah ada dan patut untuk dipertimbangkan.
Pertama, memanfaatkan konten yang sudah ada di televisi, radio, atau kanal Youtube tanpa harus membuat konten baru yang pasti akan menambah tekanan dan beban kerja guru. Kedua, tetap menggunakan printed material pada sistem pembelajaran, namun tidak harus mendistribusikan ulang materi dari guru; memakai surat kabar bekas atau konten-konten digital di media sosial, atau berita-berita online pun bisa terlaksana dengan mempertimbangkan efisiensinya.
Mengeluh dan membandingkan privilese orang lain dengan apa yang di depan mata tentu tak ada habisnya. Sawang sinawang, begitu ungkapan dalam bahasa Jawa mencoba memulihkan iri dengki pada kita yang hobi membanding-bandingkan. Entah itu membandingkan kebahagiaan, atau berlomba untuk terlihat paling menderita di antara circle pertemanan, kerja, pun dalam hidup bertetangga.
Mengingat pendidikan telah melintasi dimensi yang baru, tentu ketidaknyamanan dan perbandingan selalu hadir di setiap kalangan, utamanya pendidik, siswa, dan beberapa lini yang terkait seperti orangtua dan sebagainya. Segala kemampuan kognitif dan non-kognitif anak diadu dan diundang dalam pembahasan di meja makan: tentang ketidaksuksesan metode ini, tentang kebahagiaan sekolah A yang hadir penuh meski saat sekolah online, atau tentang Ibu A yang bisa fokus membimbing anaknya dari rumah karena hanya ibu rumah tangga, atau Ibu B yang bisa memfasilitasi segala perangkat untuk anaknya karena menjadi wanita karier dengan penghasilan besar, dan jendela-jendela privilese lainnya.
Pandemi ini tentu menjadi refleksi bagi dunia pendidikan untuk kita menggali, sejauh mana kita merespons segala tekanan tanpa sibuk menghujat privilese yang telah perlahan terkikis.
Mufidatunnisa penggerak literasi dan pendidikan di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan
Sumber: Pandemi, Pendidikan, dan Persaingan Privilese