Corona Buktikan Pendidikan Indonesia Tak Siap Hadapi Abad 21
20 April 2020, 09:00:55 Dilihat: 136x
Jakarta, Pengamat pendidikan dari Center of Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji mengatakan berbagai kendala pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang ada di tengah wabah virus corona membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia ketinggalan zaman. Dia menilai sektor pendidikan Indonesia tak siap menghadapi abad 21.
"Sekarang kenapa guru kesusahan kerja dari rumah, pendidikan kesulitan. Artinya pendidikan tidak sesuai zaman," ujarnya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (15/4).
Dampak krisis pandemi corona yang dialami sektor pendidikan, kata Indra, bukan berarti pemerintah harus membuat kurikulum darurat corona seperti yang dikehendaki Mendikbud Nadiem Makarim. Ia berpendapat kurikulum sekarang sebenarnya bisa diberdayakan untuk pembelajaran jarak jauh.
Namun yang menjadi kendala ada pada kemampuan pemahaman tenaga pendidik dan keterbatasan fasilitas. Menurut pengamatannya guru belum memaksimalkan kurikulum dalam mengajar di sekolah.
"Setiap tahun [anggaran pendidikan bisa sampai] Rp500 triliun, tapi kok pembelajaran daring saja kita begitu kacau. Artinya anak-anak Indonesia tidak siap menghadapi abad 21," tutur Indra.
Akibat kurangnya pemahaman terhadap kurikulum yang didesain pemerintah pusat, ia menilai guru hanya mengajar sesuai pemahaman masing-masing.
Orang tua pun terbiasa mengandalkan pihak eksternal, mulai dari sekolah hingga bimbingan belajar, dalam mendidik anak. Akhirnya terjadi kebingungan ketika proses belajar terpaksa dilakukan di rumah.
Dalam hal ini Indra mengatakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus memandu guru dan orang tua dengan petunjuk teknis yang jelas untuk membimbing anak belajar di rumah.
"Itu yang sebetulnya harus dipandu sekarang, sekarang kan dibiarkan saja. Guru nggak dipandu oleh Kemdikbud. Orang tua juga nggak dipandu. Semua chaos saja," pungkasnya.
Terpisah, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta Suyanto juga menyatakan hal serupa. Ia menilai Kemendikbud harus membuat program belajar dari rumah dengan teknis yang jelas.
Ia mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan program belajar dari rumah. Salah satunya terkait kondisi ekonomi dan budaya masyarakat.
Dari sisi ekonomi ia menilai pembelajaran daring tidak bisa dilakukan merata, karena masih banyak siswa yang tak memiliki akses terhadap teknologi, atau tak mampu membayar biaya belajar daring.
Sedangkan dari sisi budaya, Kemendikbud mesti memperhatikan budaya siswa yang belum bisa belajar mandiri.
"Culture kita itu tidak bisa belajar mandiri, harus ada guru. Ketika tidak ada guru belajar dari rumah gak ada guru dianggap libur bukan sekolah di rumah," jelasnya.
Suyanto menilai dalam situasi seperti ini langkah membuat kurikulum darurat perlu dipertimbangkan dengan matang. Jika tidak, implementasinya bisa berdampak panjang.
Ia mengingatkan perubahan kurikulum tidak segampang membalik telapak tangan. Bahkan, memangkas materi kurikulum saja bisa berdampak besar.
"Misalnya kurikulum disederhanakan, akan banyak guru yang tidak dapat jam belajar. Itu bisa jadi masalah. Dan kalau permasalahannya menyangkut banyak hidup orang itu bisa jadi politis, dan bisa mengganggu stabilitas [negara]," tambahnya.
Sejak wabah corona merebak, sebagian besar daerah melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dari rumah. Namun implementasinya tak berjalan mulus.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima setidaknya 213 keluhan siswa soal tugas menumpuk selama PJJ. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendapati 58 persen anak mengaku tidak senang menjalani program Belajar dari Rumah.
Sedangkan keterbatasan fasilitas komunikasi menghambat aktivitas mengajar guru. Tak jarang guru mengajar di sekolah yang siswanya tak punya akses teknologi, sehingga komunikasi terputus.
sumber : cnnindonesia.com