Jakarta,Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja tidak mewajibkan guru dan dosen dari negara lain memiliki sertifikat pendidik jika ingin mengajar di Indonesia. Itu berlaku bagi guru dan dosen lulusan perguruan tinggi negara lain yang terakreditasi.
Hal itu mengubah ketentuan dalam Pasal 8 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam UU tersebut, Pasal 8 hanya mengandung satu ketentuan, yakni mengenai kewajiban guru memiliki sertifikat pendidik, kompetensi, kualifikasi akademik, sehat jasmani dan rohani.
Namun dalam RUU Omnibus Law yang telah diserahkan pemerintah untuk dibahas di DPR, tepatnya pada halaman 498 draf RUU Omnibus Law, Pasal 8 jadi memiliki 2 ayat.
Ayat tambahan tersebut berbunyi, "Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dimiliki oleh guru yang berasal dari lulusan perguruan tinggi lembaga negara lain yang terakreditasi."
Dengan demikian, guru sekolah dalam negeri wajib memiliki sertifikat pendidik. Sementara guru dari negara lain yang mengajar di Indonesia tak wajib memiliki sertifikat pendidik jika lulus dari perguruan tinggi terakreditasi di luar negeri.
Ketentuan serupa juga diterapkan untuk dosen dari negara lain yang ingin mengajar di Indonesia. Pada UU No 14 tahun 2005, Pasal 45 hanya mengandung satu ketentuan, yaitu dosen wajib memiliki sertifikat pendidik, kompetensi, kualifikasi akademik, sehat jasmani dan rohani.
Dalam draf RUU Omnibus Law, tepatnya pada halaman 499, Pasal 45 jadi memiliki dua ayat.
Ayat pertama mengatur kewajiban dosen memiliki sertifikat pendidik dan lain-lain. Kemudian ayat kedua mengatur pengecualian syarat kepemilikan sertifikat pendidik bagi dosen asing yang ingin mengajar di Indonesia.
"Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dimiliki oleh dosen yang berasal dari lulusan perguruan tinggi lembaga negara lain yang terakreditasi," mengutip bunyi Pasal 45 Ayat (2) RUU Omnibus Law.
Tak hanya itu, RUU Omnibus Law juga menghapus kewajiban kampus asing untuk memprioritaskan dosen dan tenaga pendidik asal Indonesia. Kewajiban itu, yang sebelumnya tertuang dalam UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dihapus dalam RUU Omnibus Law.
Pemerintah Indonesia, dalam UU No. 12 tahun 2012, juga berhak menetapkan lokasi, jenis dan program studi pada perguruan tinggi asing. Namun semua ketentuan itu dihapus dalam RUU Omnibus Law.
Tidak ketinggalan, RUU Omnibus Law juga menghapus ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 67, 68 dan 69 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 67 UU No. 20 tahun 2003 ayat (1) menyatakan bahwa tiap orang, organisasi atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik tanpa hak, akan dipidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar. Ketentuan itu dihapus dalam RUU Omnibus Law bersama 3 ayat lainnya.
Kemudian pada Pasal 68 UU No. 20 tahun 2003 yang memiliki 4 ayat juga dihapus dalam RUU Omnibus Law. Padahal ayat-ayat dalam Pasal 68 itu mengatur soal pidana terhadap orang yang membantu pemberian ijazah dan gelar akademik.
Ketentuan pidana terhadap orang yang menggunakan ijazah dan gelar akademik palsu dalam pasal 69 juga dihapus lewat RUU Omnibus Law. Padahal, dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 69, orang yang memakai ijazah dan gelar akademik palsu bisa dipenjara lima tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
Sekretaris Direktur Jenderal Pendidik Tinggi Kementerian Pendidikan dan Budaya Paristiyanti Nurwadani mengaku pihaknya turut dilibatkan dalam pembentukan RUU Cipta Kerja. Namun ia enggan mengomentari pasal yang tertera pada RUU.
"Itu kan usulan dari berbagai macam stakeholder. Jadi kami selama itu belum menjadi regulasi final, ada nomornya, saya enggak mau komentar," ujarnya kepada CNNIndonesia.com di kantor Kemendikbud, Jakarta, Rabu (26/2).
CNNIndonesia.com juga sudah menghubungi Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Supriano untuk konfirmasi. Namun belum mendapat jawaban hingga berita ini dimuat.
sumber : cnnindonesia.com