Puskesmas itu pusat kesehatan masyarakat, bukan pusat pengobatan masyarakat. Artinya Puskesmas itu memang dirancang untuk mencegah penyakit." "Puskesmas itu dirancang untuk mencegah penyakit dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, mencegah lebih baik daripada mengobati." "Jangan ada Puskesmas yang bangga karena income-nya banyak, keliru loh itu!"
Demikian tiga pesan penting soal Puskesmas yang disampaikan Presiden Jokowi saat acara pencanangan Gerakan Maju Bersama Menuju Eliminasi TBC 2030 di Technopark Cimahi, Jawa Barat, Rabu (29/1/2020).
Tidak kali itu saja Presiden Jokowi memberikan pesan khusus soal Puskesmas. Pada forum Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 2017, Presiden menyampaikan 10 pesan kesehatan, di antaranya dua pesan khusus soal Puskesmas. "Terutama Puskesmas, ini perlu saya ingatkan pada semua Kepala Dinas, arahkan mereka kepada gerakan pencegahan terhadap munculnya penyakit-penyakit. Artinya apa? Mengajak masyarakat untuk hidup sehat." "Tenaga kesehatan harus aktif mendatangi masyarakat. Jangan menunggu di Puskesmas menunggu orang sakit, datangi mereka."
Mengapa Puskesmas begitu menjadi perhatian khusus Presiden Jokowi? Untuk menjawab hal tersebut, buku yang dirilis oleh Kementerian PPN/Bappenas berjudul Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas yang diterbitkan pada Juli 2018 dapat menjadi salah satu referensi.
Buku yang disusun berdasarkan hasil kajian tersebut menyimpulkan bahwa Puskesmas adalah "unit pelayanan kesehatan" paling strategis dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Dinyatakan bahwa Puskesmas merupakan: (1) Satu-satunya unit pelayanan kesehatan yang output kegiatannya sekaligus berkaitan dengan indikator-indikator program prioritas seperti tercantum dalam SPM, PISPK dan SDGs.
(2) Pelayanan kesehatan terdepan yang melakukan kebijakan paradigma sehat secara riil di lapangan; (3) Instrumen pemerataan pelayanan kesehatan untuk seluruh penduduk; (4) Instrumen untuk mengurangi disparitas derajat kesehatan antara wilayah dan instrumen untuk mewujudkan keadilan di bidang kesehatan; (5). Berperan besar mengurangi atau mencegah eskalasi biaya kesehatan, karena pelayanan Puskesmas bersifat "intervensi hulu" dalam proses epidemiologi dan patofisiologi gangguan kesehatan penduduk.
Masih berdasarkan buku kajian tersebut, disebutkan bahwa sejak era desentralisasi banyak Puskemas tidak memenuhi standar, terutama tenaga Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Hal ini diperparah dengan adanya kebijakan moratorium pengangkatan ASN, kecuali dokter, perawat, dan bidan. Sejak pelaksanaan JKN, beban kerja Puskesmas untuk Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) meningkat signifikan. Fungsi Puskesmas bergeser dan tereduksi menjadi "klinik pengobatan".
Dampak perubahan fungsi Puskesmas terhadap kinerja UKM cukup memprihatinkan, seperti terlihat pada indikator program-program UKM (cakupan imunisasi dan ASI eksklusif yang menurun, CPR KB dan CDR TB stagnan, serta penurunan stunting pada balita tidak signifikan). Program JKN melalui BPJS Kesehatan mengalami defisit mencapai triliunan. Lima penyakit dengan beban biaya rawat inap tertinggi adalah penyakit tidak menular.
Padahal secara regulasi sebagaimana Permenkes No 75/2014, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Dalam perspektif paradigma sehat, ada sekitar 70% orang sehat yang harus tetap dijaga kesehatannya dan ditingkatkan derajat sehatnya berbanding 30% orang sakit atau mengeluh sakit yang 42% berobat secara mandiri (self care) dan 58% yang pergi berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Disharmoni
Apa yang terjadi sesungguhnya dengan kinerja Puskesmas adalah terjadi disharmoni antara misi dan tujuan program kesehatan yang berwujud peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan keberpihakan kepada tenaga kesehatan masyarakat. Keberadaan tenaga kesehatan masyarakat saat ini kurang mendapat perhatian. Dalam lingkup Puskesmas, kelompok tenaga kesehatan masyarakat terkena kebijakan moratorium pengangkatan ASN.
Pengaturan area dan wewenang kerja tenaga kesehatan masyarakat sampai dengan saat ini belum diatur dalam regulasi (Permenkes atau regulasi perundangan lainnya). Padahal pengaturan tersebut adalah mandat ketentuan Pasal 23 (perizinan SDM) UU 36/2009 tentang Kesehatan dan mandat ketentuan pasal 46 (registrasi dan perizinan SDM) UU 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan. Dapat dikatakan, satu-satunya tenaga kesehatan sebagaimana disebutkan dalam UU Tenaga Kesehatan yang tidak mempunyai payung hukum adalah tenaga kesehatan masyarakat.
Filosofi pendidikan kesehatan masyarakat, bahwa tenaga kesehatan masyarakat atau dikenal juga sebagai Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) adalah mereka yang memiliki dasar ilmu bidang kesehatan masyarakat yang meliputi: administrasi dan kebijakan kesehatan, pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku, biostatistika dan kependudukan, kesehatan lingkungan, gizi kesehatan masyarakat, kesehatan dan keselamatan kerja, epidemiologi, dan kesehatan reproduksi). Tidaklah disebut SKM, bila meninggalkan salah satu dasar ilmu tersebut.
Sehingga profil lulusan pendidikan kesehatan masyarakat adalah mereka yang mampu berpikir sistem dengan memfokuskan kegiatannya pada aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit dan pengendalian faktor risiko untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup sehat dengan mengintegrasikan disiplin dasar ilmu bidang kesehatan masyarakat di atas, dengan sasaran utama keluarga, kelompok dan masyarakat.
Ironisnya, pada draf perubahan Permenkes tentang Puskesmas (Permenkes No 43 tahun 2019 yang kabarnya masih ditunda pengesahannya), justru keberadaan tenaga kesehatan masyarakat direduksi menjadi tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Padahal sejatinya, promosi kesehatan dan ilmu perilaku adalah sub bagian dari keilmuan yang didapat seorang tenaga kesehatan masyarakat (SKM).
Berdasarkan sistem informasi SDM Kesehatan yang dilansir http://sisdmk.bppsdmk.kemkes.go.id per 31 Desember 2018, sekitar 30% Puskesmas belum memenuhi standar tenaga kesehatan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Permenkes 75/2014. Sementara dalam Permenkes No 33/2015 tentang pedoman penyusunan perencanaan SDM kesehatan, telah menjelaskan target rasio kebutuhan tenaga SKM terhadap jumlah penduduk adalah 16/100.000 penduduk pada 2019 dan 18/100.000 penduduk pada 2025. Target rasio itu sampai kini pun belum tercapai.
Logika sederhananya, mengapa tidak mempertahankan tenaga kesehatan masyarakat (SKM) yang telah memiliki kemampuan yang komprehensif, dengan 8 kompetensi dari 8 pilar keilmuan? Tentunya akan lebih efisien pengadaan dan pendayagunaannya, mengingat peta kemampuan alokasi anggaran SDM kesehatan di berbagai daerah yang terbatas.
Solusi Harmonisasi
Untuk itu, memaknai pesan Presiden Jokowi soal Puskesmas, dapat dimulai dengan mengharmonisasi pada dua hal penting yaitu penguatan pola model upaya kesehatan masyarakat dan tenaga kesehatan masyarakat.
Sampai dengan saat ini sistem upaya kesehatan masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam UU No 36/2009 tentang Kesehatan (pasal 46), belum ada regulasi turunannya. Hal ini berbeda dengan sistem upaya kesehatan perorangan yang telah diatur secara rinci lebih rinci dalam banyak regulasi. Salah satu contohnya dalam Permenkes No 01 Tahun 2012 tentang sistem rujukan pelayanan kesehatan perorangan. Oleh karena itu, perlu segera di susun pola model pelayanan dan jenjang rujukan upaya kesehatan masyarakat (UKM)
Penguatan tenaga kesehatan masyarakat, yang paling mendesak dengan memberikan kejelasan area dan wewenang kerjanya dalam sebuah regulasi penyelenggaraan tenaga kesmas. Penghentian sementara penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) bagi tenaga Kesmas adalah bukti nyata `kebingungan` Kementerian Kesehatan dalam mengatur kejelasan area dan wewenang kerja tenaga kesmas.
Tanpa penguatan kedua hal tersebut, dapat dipastikan peran dan fungsi Puskesmas akan semakin jauh dari khitahnya.
Sumber: Detik.Com