Menakar Revolusi Jaringan 5G Kala Covid-19 untuk Warga Kota
06 Juni 2021, 09:00:01 Dilihat: 177x
Jakarta -- Layanan jaringan internet generasi kelima atau 5G sudah resmi dioperasikan oleh salah satu operator seluler plat merah, Telkomsel di Indonesia. Jaringan yang diklaim 10 kali lebih cepat dari layanan 4G itu akan menyasar sektor industri dan pengguna smartphone di tanah air.
Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Nonot Harsono mengatakan revolusi di bidang telekomunikasi ini sudah menjadi hukum alam bagi manusia yang menuntut hal yang lebih baik dari sebelumnya.
"Dalam teknologi seluler, setelah 4G pastilah mau meningkat ke 5G," ujar Nonot melalui pesan teks (28/5).
Meski jaringan internet sudah menyebar hampir ke seluruh wilayah di Indonesia, jaringan 5G saat ini baru tersedia di sembilan wilayah pemukiman penduduk seperti di kota Medan, Batam, Bandung, Balikpapan, Solo, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Denpasar.
Menurut Nonot, layanan 5G yang baru menyasar ke kota-kota besar merupakan hal yang wajar. Pasalnya 5G didesain untuk area yang padat penduduk dan utilisasinya tinggi.
Jaringan 5G memiliki ciri utama yakni kapasitas jaringan yang jauh lebih besar, darius cell sangat kecil sehingga jumlah BTS (Base Transceiver Station) diprediksi akan sangat banyak dibangun.
"Nah ini alasan 5G fokus ke kota-kota besar duluan," pungkasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan akses internet merupakan kebutuhan dasar warga negara untuk pengembangan diri, maupun untuk kegiatan bisnis. Sebagai hak dasar, maka dimanapun rakyat berada akses internet haruslah disediakan.
Nonot mengatakan di beberapa negara bisa memiliki teknologi yang maju karena dianggap serius dalam menata kelola pemanfaatan teknologi sebagai alat pembangunan.
Tata kelola teknologi itu disebut termasuk sebagai alat pendidikan dan layanan kesehatan. Jadi, kata dia di negara maju pemerintah menyediakan akses internet juga hingga ke pelosok desa.
5G dibutuhkan usai Indonesia diterpa pandemi Covid-19
Sementara itu, menurut Pengamat Telekomunikasi Heru Sutadi mengaku kebutuhan kecepatan jaringan di Indonesia sudah menjadi kebutuhan masyarakat semenjak merebaknya pandemi Covid-19.
Sejak itu, kata dia, banyak masyarakat yang menuntut jaringan super cepat agar menunjang kegiatan di dalam rumah seperti belajar jarak jauh (PJJ), bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH ) hingga berjualan online.
"Kebutuhan selama pandemi ini akses internet itu meningkat terutama di perumahan, karena kegiatan di rumah meningkat. Jadi diperlukan jaringan internet cepat," tutur Heru kepada CNNIndonesia.com.
Jadi, dengan kebutuhan dan permintaan itu sudah seharusnya operator seluler dan pemerintah menyediakan layanan yang dibutuhkan oleh sejumlah masyarakat.
Ia lantas menghitung kebutuhan kecepatan internet yang dibutuhkan di dalam satu rumah. Misalnya jika terdapat 4 sampai 5 orang pengguna di satu rumah, maka kecepatan internet yang biasanya 1Mbps saat ini sudah tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan mereka.
"Karena kalau pakai zoom, kecepatan [internet] harus tinggi. Kalau tidak begitu nanti akan ngelag semua," pungkasnya.
Lebih lanjut ia menuturkan jaringan 5G menjadi salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam konteks layanan internet.
Ia menjelaskan internet cepat hingga 50Mbps juga dapat dihubungkan dengan jaringan fiber optik. Namun, ia menilai jaringan infrastrukturnya dianggap sulit untuk dibuat di wilayah pedalaman.
"Sehingga akses nirkabel 5G menjadi alternatif solusi juga untuk residensial, apalagi sasarannya juga bisa mengarah untuk kebutuhan industri," ujarnya.
5G belum sasar Desa karena permintaan masih kecil
Di samping itu, Heru juga menjelaskan alasan mengapa pembangunan teknologi terbaru seperti 5G awal dibangun selaku dari wilayah perkotaan.
Ia menuturkan jika adopsi teknologi dilakukan di desa-desa, maka pembangunannya dianggap akan sangat panjang.
Untuk membangun infrastruktur nirkabel berkecepatan tinggi, harus membangun Mobile Switching Center (MSC), Base Station Controller (BSC) dan BTS sebagai sarana penghubung layanan nirkabel. Jadi, kata dia, jika dibangun di tengah pedalaman menjadi sebuah perjalanan panjang revolusi jaringan internet.
Lagi pula, ia menilai permintaan layanan di desa-desa tidaklah sebesar permintaan internet di kota besar.
"Bukan berarti kita mengecilkan desa-desa, tapi demainnya tidak terlalu besar. Ada demain di pedesaan, tapi mungkin saat ini masih cukup dengan jaringan 3G dan 4G," tuturnya.
Di samping itu Nonot menyarankan kepada pemerintah untuk meningkatkan insentif dan kemudahan bagi para penyedia internet dan developer aplikasi lokal, untuk diberikn kemudahan dalam melakukan usaha.
"Kurangi pungutan PNPB (Penerimaan Negara Bukan Pajak) ataupun PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan bea lintasan," pungkasnya.
Sumber : cnnindonesia.com