Supersemar, Surat Sakti Pembuka Jalan Kekuasaan Soeharto
14 Maret 2021, 09:00:00 Dilihat: 231x
Jakarta -- Hari ini 55 tahun yang lalu tepatnya 11 Maret 1966, Soeharto menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Riwayat Supersemar diselimuti dugaan pemalsuan sejarah yang diyakini sejumlah sejarawan menjadi pintu pembuka jalan kekuasaan Soeharto menduduki kursi kepresidenan.
Penerbitan Supersemar sendiri tak lepas dari peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang melibatkan kader Partai Komunis Indonesia (PKI). Usai Supersemar terbit, penangkapan dan pembantaian terhadap kader serta simpatisan PKI marak terjadi di berbagai daerah.
Situasi Politik
Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dekat dengan Soekarno, menghadapi persaingan dengan TNI AD pada 1965. Persaingan mereka berkenaan dengan kepemimpinan selanjutnya lantaran Soekarno dikabarkan sakit.
Sebelum 1965, PKI dan TNI AD juga sudah berselisih paham ihwal pembentukan Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh tani yang dipersenjatai. TNI AD tidak setuju.
Hingga kemudian, muncul isu Dewan Jenderal bentukan petinggi TNI AD yang ingin merebut kursi presiden dari Soekarno pada 1965. Menteri Panglima Angkatan Darat saat itu Letjen Ahmad Yani jadi terseret isu yang belum tentu benar itu.
Lalu pada 30 September atau 1 Oktober 1965 dini hari, sejumlah perwira tinggi TNI Angkatan Darat dibunuh dan diculik di Jakarta.
Operasi dipimpin oleh anggota Resimen Cakrabirawa pasukan pengawal presiden yang setia pada Soekarno, yakni Letkol Untung.
Petinggi TNI AD yang diculik dan dibunuh antara lain Letjen Ahmad Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo.
Ada beberapa orang lain yang juga turut menjadi korban, yakni Bripka Karel S. Tubun dan Ade Irma Suryani Nasution yang merupakan putri Jenderal A.H. Nasution. Kolonel Katamso Darmokusumo serta Letkol Sugiyono Mangunwiyoto juga menjadi korban operasi di Yogyakarta.
Pasukan yang dipimpin Letkol Untung sempat menguasai Radio Republik Indonesia dan menyiarkan berita bahwa Dewan Revolusi terlah terbentuk untuk memberangus Dewan Jenderal.
Namun, masih di hari yang sama yakni 1 Oktober 1965, pasukan TNI sudah menguasai Jakarta kembali. PKI dituding sebagai dalang Gerakan 30 September.
Dalam sidang di Mahkamah Militer Luar Biasa, Sjam Kamaruzaman, yang mengaku sebagai pimpinan Biro Chusus PKI bicara banyak tentang gerakan tersebut. Dia mengatakan Gerakan 30 September memang dia rancang dan melibatkan sejumlah prajurit TNI.
Supersemar
Keadaan Jakarta mencekam usai Gerakan 30 September meletus. Selain itu, krisis ekonomi juga menerpa Indonesia. Kekacauan di mana-mana.
Memasuki tahun 1966, mahasiswa menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) sejak 21 Februari. Tiga tuntuan itu yakni pembubaran PKI yang dinilai sebagai penyebab tragedi G30S, perombakan Kabinet Dwikora, dan turunkan harga.
Sidang kabinet 100 menteri pada 11 Maret 1966 menjadi rapat terakhir yang dipimpin Soekarno. Baru sebentar sidang dilakukan, Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Leimana.
Sebab, ajudan Bung Karno Kol Pol Sumirat mendapatkan nota dari Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur. Nota itu meminta agar Bung Karno segera mengamankan diri. Bung Karno kemudian bertolak mengamankan diri ke Istana Bogor menggunakan helikopter.
Saat itu keadaan di Jakarta memanas. Ribuan mahasiswa bergerak ke Istana Merdeka dengan maksud membubarkan sidang 100 menteri.
Sehari sebelumnya, pada 10 Maret, Soeharto mengadakan pertemuan dengan Panglima Kodam (Pangdam) Jaya Mayjen Amir Machmud, Pangdam Jatim Mayjen Basuki Rahmat dan Mayjen M Yusuf.
Soeharto menyatakan bahwa ia siap menerima mandat penuh dari Bung Karno untuk mengatasi kemelut yang dihadapi negara. Termasuk dalam hal ini adalah masalah keamanan dan politik. Ketiga Jenderal itu menyetujui Soeharto.
Beberapa saat setelah sidang 100 kabinet ditutup, Pangdam Jaya Amir Mahmud, Menteri Veteran Brigjen Basuki Rachmat, dan Menteri Perindustrian M. Jusuf menemui Soeharto di rumahnya. Soeharto kemudian menitipkan pesan untuk Bung Karno yang tengah mengungsi di Istana Bogor.
Mereka kemudian menyambangi Soekarno di Istana Kepresidenan Bogor dan menyampaikan pesan Soeharto. Saat itulah Soekarno disodorkan Supersemar dan diminta untuk menandatangani
Salah seorang pengawal Bung Karno, Wilardjito mengatakan sebenarnya bukan 3, melainkan ada 4 jenderal yang menemui Soekarno. Satu jenderal yang dimaksud yakni M. Panggabean.
Dia mengaku melihat Panggabean menodongkan pistol kepada Soekarno agar lekas menandatangani Supersemar. Kesaksian Wilardjito banyak yang membantah lantaran saat itu masih berpangkat rendah.
Setelah itu, Soekarno menandatangani surat dan menyerahkannya kepada M. Jusuf. Di hari-hari berikutnya, surat dipakai Soeharto untuk menertibkan keamanan atas nama Soekarno.
Sumber cnnindonesia.com