Pelatihan Basis Zonasi Jadi Cara Kemendikbud Kembangkan Guru
06 Mei 2019, 09:00:02 Dilihat: 557x
Jakarta -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan akan memprioritaskan program pengembangan sumber daya pendidik pada tahun ini. Hal ini disebut menyesuaikan dengan fokus pembangunan dari pemerintah pusat.
"Secara bertahap, fokus pemerintah akan beralih dari pembangunan infrastruktur ke pembangunan sumber daya manusia," ujar Mendikbud Mudjahir Effendy di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Kamis (5/2).
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud Supriano mengatakan implementasi dari arah kebijakan tersebut adalah dengan penyelenggaraan berbagai pelatihan untuk para tenaga pengajar.
"Yang kami siapkan adalah gurunya. Makanya kemarin kami kirim guru 1.200 [orang] ke luar negeri. Dengan adanya pelatihan seperti ini, berbasis zonasi, high order thinking skill, dan lain-lain" ucap Supriano.
Supriano menyebut pelatihan tersebut akan berbasis wilayah atau zonasi dan bakal dimulai pada tahun ajaran baru nanti.
Keputusan untuk membuat pelatihan itu berbasis zonasi diklaim Kemendikbud menjadi cara pembangunan sumber daya manusia, khususnya tenaga pendidikan, yang lebih efektif.
Kemendikbud menyebut, dengan pelatihan berbasis wilayah, tenaga pendidik tak perlu datang ke pusat pelatihan. Dan melalui berbagai pelatihan yang diberikan, kompetensi guru bisa dibagikan lagi oleh sesama pengajar ke wilayah yang lebih kecil lainnya.
"Sistem pelatihan saat ini kita berbasis zona melalui MGMP [Musyawarah Guru Mata Pelajaran] dan nanti fokusnya kita penekanan kepada analisis, sintesis dan menciptakan," kata Supriano.
Sementara itu secara terpisah, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan pada perayaan Hardiknas 2019, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk menyelesaikan sejumlah persoalan.
Salah satunya sikap intoleransi dan paham radikalisme di lingkungan sekolah.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menerangkan berdasarkan hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) pada 2018 terhadap 2.237 guru Muslim di 34 provinsi menunjukkan 6 dari 10 guru memiliki opini intoleransi terhadap pemeluk agama lain.
"Survei itu juga menilik tendensi radikalisme, dan mendapati bahwa hampir setengah guru Muslim memiliki opini radikal," kata Ubaid melalui keterangan tertulis, Kamis (2/5).
Ia juga menyayangkan langkah pemerintah yang tidak segera menindak salah satu penyebaran sikap intoleran yang salah satunya terjadi dalam konten UASBN.
"Sayangnya, pihak pemerintah tidak menelusuri kasus ini dan menguak jaringan yang melingkupinya. Lagi-lagi, pemerintah cenderung membiarkan kasus-kasus intoleransi semacam ini, seperti tahun-tahun sebelumnya," ujarnya.
Sumber : cnnindonesia.com