Perjuangan Tim Manggala Agni Lawan Karhutla di Bumi Riau
13 Maret 2019, 09:00:00 Dilihat: 711x
Riau, CNN Indonesia -- Asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) belum sepenuhnya menghilang di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau, pada Selasa (5/3). Di sejumlah titik, asap dan aroma dari lahan yang terbakar masih menghalangi jarak pandang. Aromanya menyesakkan dada.
Catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak Februari 2019, Rupat adalah salah satu wilayah kebakaran terparah. Di sana luas lahan terbakar sekitar 200-an hektare.
Titik-titik karhutla itu terpantau cukup jelas dari helikopter jenis Heli Bell 412 milik KLHK yang kami tumpangi. Kaca helikopter bahkan sempat diselimuti asap pekat karhutla jelang memasuki Rupat. Namun asap itu cepat menghilang seiring heli yang terus terbang menuju Dumai.
Dari Dumai, butuh waktu sekitar satu jam perjalanan menggunakan kapal penyeberangan jenis roll on roll offalias Roro untuk sampai ke Tanjung Kapal, Rupat. Dari Tanjung Kapal, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan mobil tipe 4WD menuju Desa Pergam.
Kemudian dari pinggiran Desa Pergam perjalanan berlanjut menggunakan motor tumpangan anggota Korps Manggala Agni.
Mandala Agni adalah tim yang dikerahkan KLHK untuk memadamkan karhutla di Riau. Setidaknya ada dua sampai tiga regu Manggala Agni yang turun di satu desa yang mengalami karhutla.
CNNIndonesia.com bersama Korps Manggala Agni akhirnya tiba di titik kebakaran di wilayah Desa Pergam sekitar pukul 18.18 WIB. Sore semakin memudar. Suasana perlahan gelap. Namun, para anggota Manggala Agni masih sibuk bertarung di lahan yang terbakar.
Mereka dikejar waktu untuk memastikan area lahan sudah steril api yang membakar. Wakil Komandan Regu II Manggala Agni, Daops Dumai, Syafrudin, mengatakan tim harus bisa menuntaskan titik kebakaran hingga benar-benar padam. Ini akan dilakukan meski hingga tengah malam.
"Karena kalau kita tinggalkan di tengah jalan bisa tersebar lagi api dan sia-sialah yang kita kerjakan dan padamkan," kata Syafrudin.
Asap baru benar-benar padam sekitar pukul 19.00 WIB. Tak lama, belasan anggota Manggala Agni pun memutuskan pulang ke barak, tempat mereka menginap. Dari titik Pergam butuh waktu setidaknya dua jam untuk sampai ke Barak.
Tim tiba sekitar pukul 21.00 WIB. Barak ini bukan barak permanen, melainkan rumah kayu yang dipinjamkan warga. Syafrudin dan teman-temannya sudah menginap selama dua minggu di barak tersebut.
Tempat ini dipilih karena dekat dengan Kepala Api yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi mereka tidur.
"Kalau di awal-awal ini kepala mulanya kebakaran. Dan ini habis terbakar semua sejak Februari kemarin. Sekarang sudah selesai tinggal pendinginan," kata Syafrudin.
Sesak di dada tak terhindarkan saat mencium bau sisa kebakaran saat kami tiba di barak. Namun tidak bagi Syafrudin dan para Manggala Agni lainnya. Bagi mereka, bau itu tak sebanding dengan rasa bangga menyelamatkan lahan dan hutan di Tanah Lancang Kuning.
"Kerja kami buat nyelamatin tanah kami sendiri. Kita sadar itu makanya kita bertahan dari 2002 sampai sekarang," ujar Syafrudin.
KLHK sendiri telah menetapkan statussiagakarhutla di Riau sejak Februari 2019.DataKLHK mencatat ada 1.300 hektare lahan terbakar di Riau dan kini sedang dalam proses pendinginan.
Direktur Pengendalian Karhutla KLHK Raffles B Panjaitan menyatakan penanganan di lapangan dilakukan dengan berbagai cara seperti water bombing hingga pemadaman menggunakan air adiktif.
Gunakan Zat Adiktif
Selain Pulau Rupat, daerah lain yang terparah mengalami Karhutla adalah Kabupaten Meranti, Bengkalis, dan Dumai.
Di kawasan Batu Bintang, Dumai Barat, lidah-lidah api yang tingginya kira-kira setengah meter di tumpukan sisa lahan sawit masih terlihat di sejumlah titik. Kemudian masih terasa benar abu sisa karhutla saat kami menginjakkan tanah.
Jika seseorang melangkah, maka abu sisa karhutla akan naik ke atas dan terhirup. Anggota Manggala Agni yang bertugas, Rahmad menyatakan pihaknya sedang melakukan blokade area agar api tidak menyebar.
"Setelah kami blok baru kami padamkan. Kalau lama memadamkannya juga tergantung berapa dalam gambutnya. Biasanya ada sampai yang 2-3 meter ke dalamannya dan kami bisa berhari-hari memadamkannya," ucap Rahmad.
Di kawasan ini anggota Manggala Agni memadamkan api dengan sistem manual. Mereka bahkan membuat embung dadakan di sekitaran daerah kebakaran sebagai sumber air untuk memadamkan api.
Menurut Rahmad, sejauh ini yang menjadi kendala ialah sumber air yang kurang di musim kemarau dan angin yang terus bertiup.
"Kalau tengki air tidak bisa masuk karena keterbatasan lokasi mau tidak mau kami bikin embung. Belum lagi kalau angin terus bertiup maka kami jaga terus," ucap Rahmad.
Bergeser ke arah selatan, kami mengunjungi kawasan Meranti. Di lokasi ini pemadaman api dilakukan dengan cara yang berbeda, yakni menggunakan zak adiktif.
Sebelum disemburkan ke api, para anggota Manggala Agni mencampurkan segentong zat adiktif di pusaran air. Zat ini pula yang akan disemburkan melalui nozzle air.
Nozzle yang dipakai di Dumai memungkinkan penyemburan air melalui tiga posisi, yakni posisi semburan air biasa melintang, posisi menyebar seperti penyiraman tanaman dan satu lagi posisi penyuntikan air dari dalam tanah atau gambut.
"Karena ini kebakarannya ada di bawah (bawah gambut). Zat adiktif itu akan menutup rongga-rongga dan pori-pori di permukaan sebagai sumber oksigen api," ujar Jusman.
"Jika tidak ada asap yang muncul ke permukaan dan kita buka sedikit buihnya untuk bahwa kebakaran di bawah ini sudah tidak ada. Baru kita selesai," kata Jusman.
Karhutla Menurun
Raffles mengatakan upaya Manggala Agni dalam memadamkan api di garis terdepan berbuah manis. Dalam catatan KLHK titik hotspot di seluruh Indonesia sudah turun sekitar 24 persen dari tahun lalu di bulan yang sama.
"Penurunan titik hotspot head to head itu bisa sampai 24 persen karena integrasi pencegahan dan penanggulangan yang kita lakukan," ujar Raffles.
Secara umum, jumlah titik hotspot ini juga konsisten turun sejak tahun 2015. Di periode Januari-Desember 2015 luas karhutla mencapai 183.808 hektare, pada tahun 2016 mencapai 85.219 hektare, pada periode Januari-April tahun 2017 seluas 5.161 hektare.
Kemudian di periode Januari-Maret 2018 ada 4.277 hektare karhutla dan terakhir pada periode Januari-25 Februari 2019 tahun ini luas karhutla hanya 695 hektare.
"Jadi kalau dikira pemerintah gagal total menangani karhutla saya kira data lah yang menjawab ini semua. Jelas tidak ada karhutla yang hebat seperti yang terjadi tahun 2015," ujar Rafles.
Sumber : cnnindonesia.com