JAKARTA - Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Jefri Wenda menilai kehadiran PT Freeport di tanah Papua justru lebih tidak berpihak total kepada rakyat di bumi cenderawasih. Pasalnya, Freeport hingga proses operasionalnya masih banyak tidak dirasakan rakyat kecil.
“Dalam sejarah itu dua tahun sebelum kontrak karya dilakukan bagaimana ada kesepakatan antara Belanda dan Indonesia untuk menyelenggarakan apa yang disebut dengan perjanjian New York. Salah satu pasal berbicara tentang hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Seharusnya itu dilakukan dulu sebelum dilakukannya kontrak karya,” kata Wenda, Jumat (4/12/2015).
Saat itu kata dia, memang dilakukan penentuan pendapat rakyat, namun dua tahun sebelumnya sudah dilakukan kontrak karya. Menurut Jefri, ada upaya bagaimana penyelenggaraan penentuan nasib yang diikuti sekira 1.025 orang ditekan habis-habisan, sehingga yang mengikuti hanya 125 orang.
“Sehingga kami melihat bahwa ini kesengajaan untuk menyelamatkan kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi antara Indonesia sama Amerika,” ulas dia.
Pernyataan Wenda dikuatkan Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi Demokrasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri.
Menurutnya, keberadaan Freeport di Papua menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM. Jika Freeport mendapatkan perpanjangan kontrak karya maka, hal itu merupakan pelanggaran HAM yang berkelanjutan bagi rakyat Papua.
“Saya pikir keberadaan Freeport di sana segaris lurus dengan berbagai macam pelanggaran HAM. Skandal Freeport saat ini adalah skandal bagaimana akses elite itu sebenarnya ingin dilindungi menggunakan justifikasi negara, menggunakan Undang-Undang, menggunakan hukum Indonesia. Padahal, kita sudah tahu risiko tetap memertahankan relasi dengan PT McMoran adalah pelanggaran HAM yang akan terus bertahan,” papar Puri.