Tegar Arief Fadly - Okezone
JAKARTA - "Saya hanya pengen akta kelahiran,". Kalimat itulah yang terucap dari seorang perempuan paruh baya dengan bekas kerokan di kedua lenganya. Perempuan berusia 43 tahun bernama Lisa ini tak kuasa membendung air matanya saat dirinya merasa seperti orang tua gagal, lantaran tak bisa menyekolahkan dua dari tiga puterinya
Kiki, puteri ketiga Lisa yang kini berusia 13 tahun terpaksa tidak pernah mengenyam pendidikan formal lantaran tidak memiliki akta kelahiran. Mahalnya biaya pembuatan akta tentu menjadi alasan bagi Lisa sampai tak menyekolahkan puterinya tersebut.
Kakak Kiki, Sari pun mengalami nasib yang sama. Beruntung, Sari sudah berkeluarga sendiri. "Saya mau buat akta kelahiran dimintai Rp2 juta. Uang siapa?" ucap Lisa saat ditemui Okezone, Minggu (21/4/2013).
Jangankan biaya pembuatan akta, untuk keperluan makan sehari-hari saja ibu dengan tiga anak ini mengaku kesulitan. Bahkan, tak jarang Lisa dan keluarganya hanya makan sekali sehari. Sementara Lisa hanya bekerja sebagai penjual kopi dan es jeruk keliling di kawasan Kota Tua, Jakarta Pusat.
Suami Lisa yang merupakan orang Betawi asli sudah beberapa bulan tak bekerja, karena mengalami luka parah akibat kecelakaan. Tak ayal, Lisa menjadi tulang punggung keluarga.
"Dulu kerja di pabrik, terus dikeluarkan karena ada pengurangan tenaga kerja. Sekarang enggak bisa kerja habis ditabrak sepeda motor," terangnya.
Meski hari-harinya dihabiskan di kawasan wisata sejarah, yang ramai dikunjungi para wisatawan, namun hal itu tidak menjamin kelancaran rezeki Lisa. Pada hari-hari biasa, Lisa hanya memperoleh uang maksimal Rp30.000. Itu pun masih harus diserahkan sebagian kepada pihak pengelola kawasan bersejarah tersebut.
"Kalau Sabtu Minggu ya lumayan Rp50.000 dapat. Tiap hari pungutan dari pemerintah Rp10.000," tuturnya.
Mulanya, Lisa menetap di Darmo Satelit, kawasan yang terletak di pinggiran Surabaya Barat bersama anak-anaknya. Sementara suami Lisa menetap dan bekerja di Jakarta sebagai penjahit di sekitar Jalan Kertajaya, Penjaringan, Jakarta Utara.
Pada tahun 2000 lalu, Lisa beserta seluruh anaknya nekat ke Jakarta hanya untuk bisa berkumpul dengan suami dan ayah dari anak-anaknya. Tak mudah hidup di ibu kota. Setidaknya, pengakuan itulah yang diungkapkan oleh perempuan berambut lurus ini.
"Saya dulu tidur di kolong Pasar Angke, di bawah jembatan sebelum bertemu suami," kenangnya.
Setelah berhasil bertemu sang suami tidak lantas memuluskan jalan hidup keluarga tersebut. Sebab, lapak tempat suami Lisa bekerja digusur oleh pemerintah, dan mesin jahit yang merupakan satu-satunya barang berharga miliknya lenyap dicuri orang.
Alhasil, meminjam uang ke rentenir dengan bunga selangit menjadi pilihan terbaik untuk bisa mempertahankan hidup. "Saya utang untuk modal. Utang Rp500.000 bayarnya Rp800.000. Udah lunas utang lagi, terus sampai sekarang. Bayarnya per hari Rp40.000," paparnya.
Mungkin, Lisa hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Dengan segala kesabaran, ketekunan, serta berani berkorban, dan melakukan apa saja untuk bisa bertahan hidup.
Kini, Lisa dan keluarganya tinggal di sebuah kontrakan seharga Rp500.000 per bulan di kawasan Bandengan, Jakarta Utara. Tak banyak yang bisa dia harapkan di tengah sulitnya upaya untuk mempertahankan hidup. Dia pun tak ingin selamanya hanya menjadi penjual kopi dan es jeruk keliling.
Asa yang hingga kini masih belum terpuaskan adalah, menjadi penjual mie ayam, dengan harapan bisa membuatkan akta kelahiran anaknya. "Kalau harapan saya ya anak saya punya akte, dan saya juga ingin jualan mie ayam," tandasnya.