6 Tip Antisipasi Pesangon Berkurang Gara-gara Omnibus Law
15 Oktober 2020, 09:00:00 Dilihat: 527x
Jakarta -- Ihwal pesangon menjadi salah satu poin penolakan kalangan pekerja dan buruh dalam Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Meski pemerintah menegaskan pesangon tidak dihapuskan, pemberian pesangon yang diterima pekerja dan buruh bakal berkurang.
Terlepas dari pro kontra mengenai UU Ciptaker yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (5/10) lalu, ada pelajaran penting yang bisa diambil oleh pekerja dan buruh, yakni persiapan finansial jika lepas dari pekerjaannya.
Situasi tersebut antara lain melepas pekerjaan karena memutuskan untuk mengundurkan diri (resign) karena alasan tertentu, maupun dalam kondisi terburuk mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Sebelum membahas mengenai persiapan finansial tersebut, kita sebaiknya memahami terlebih dulu perubahan pesangon dalam UU Ciptaker. Sebagai contoh, pekerja A telah bekerja selama 4 tahun tapi kurang dari 5 tahun. Kemudian, A mengalami PHK dengan alasan perusahaan melakukan efisiensi akibat pandemi covid-19.
Sesuai Poin 44 Pasal 81 Omnibus Law Ciptaker yang merevisi Pasal 156 (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ia berhak mendapatkan pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
Perhitungannya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 156 meliputi pesangon dengan masa kerja tersebut sebesar 5 bulan upah dan uang penghargaan sebesar 2 bulan upah. Misalnya, pekerja itu memiliki gaji Rp6 juta, maka ia berhak mendapatkan uang sebesar Rp6 juta dikali 7 kali upah, sebesar Rp42 juta dari perusahaan ketika mengalami PHK.
Namun, uang tersebut belum meliputi uang penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur, biaya atau ongkos pulang, dan hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja.
Sebagai perbandingan, pada UU Ketenagakerjaan, PHK akibat perusahaan melakukan efisiensi diatur melalui Pasal 164 UU Ketenagakerjaan. Namun, UU Ciptaker menghapus ketentuan Pasal 164 dan menggantikannya dengan ketentuan pengupahan baru, sebagaimana yang tertera di atas.
Sebelumnya, pada Pasal 164 UU Ketenagakerjaan pekerja yang mengalami PHK karena efisiensi berhak mendapatkan uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156.
Itu berarti, jika pekerja A mengalami PHK karena efisiensi, sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan ia seharusnya mendapatkan uang pesangon sebesar Rp60 juta. Jumlah itu, didapatkan dari uang pesangon 5 bulan upah, atau Rp30 juta, kemudian dikalikan 2 kali, atau Rp60 juta.
Selanjutnya, uang penghargaan masa kerja sebesar 2 bulan upah, atau Rp12 juta. Dengan demikian, secara total pekerja A mendapat uang sebesar Rp72 juta ketika mengalami PHK.
Selain itu, UU Ciptaker menghilangkan salah satu poin terkait uang penggantian hak, yaitu uang penggantian hak yang bersumber dari penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 15 persen dari uang pesangon.
Setelah memahami perubahan angka pesangon yang didapat oleh pekerja nantinya, berikut strategi yang perlu diperhatikan terkait pengelolaan pesangon:
1. Dana cadangan setelah resign atau kena PHK
Uang pesangon biasanya digunakan sebagai dana cadangan jika pekerja lepas dari pekerjaan, baik resign maupun kena PHK. Dana cadangan tersebut dibutuhkan untuk biaya hidup sehari-hari, jika tidak lagi memiliki pendapatan, hingga kembali mendapatkan pekerjaan.
Perencana Keuangan Ahmad Gozali mengatakan idealnya dana cadangan tersebut sebesar 6 bulan pengeluaran.
"Hitungannya dari pengeluaran yang biasa, dikurangi dengan biaya bekerja," ujar Ahmad kepada CNNIndonesia.com, Jumat (9/10).
Misalnya, pekerja A seperti yang dicontohkan di atas memiliki pengeluaran sebesar Rp5 juta per bulan, maka sebaiknya ia memiliki dana cadangan sebesar Rp5 juta dikali 6 bulan, atau Rp30 juta. Jika, perusahaan memberikan uang pesangon sesuai ketentuan UU Ciptaker dengan patokan paling tinggi, sebetulnya uang pesangon sudah mencukupi kebutuhan pengeluarannya selama 6 bulan tersebut.
Namun, sebagai catatan, UU Ciptaker kini membuka peluang bagi perusahaan untuk memberikan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja lebih sedikit dari yang ditentukan dalam UU Ciptaker Pasal 156. Itu berarti, terbuka peluang uang pesangon itu tidak menutupi 6 bulan dana cadangan.
Gozali menuturkan hitungan dana cadangan itu, juga berlaku bagi pekerja yang mengundurkan diri karena ingin membuka usaha. Dana cadangan 6 bulan tersebut di luar modal usaha.
"Karena yang namanya usaha kan belum tentu hasilnya langsung bisa menggantikan gaji sebelumnya. Beberapa bulan pertama bisa jadi rugi atau untung tapi belum bisa ambil gaji," katanya.
2. Tidak bergantung pada pesangon perusahaan
Gozali menuturkan pelajaran penting dari polemik UU Ciptaker yang bisa diambil pekerja adalah pekerja tidak bisa menggantungkan kesejahteraan pada sistem pengupahan. Pasalnya, layaknya sebuah sistem yang terus mengalami penyesuaian, maka sistem pengupahan juga bisa jadi terus berubah.
"Maka pekerja perlu menyiapkan sendiri kesejahteraannya, saat bekerja maupun setelah berhenti kerja," tegasnya.
Ia juga mengimbau momentum ini untuk mengubah pola pemikiran (mindset) pekerja. Bukan lagi, berfikir kalau mengundurkan diri atau kena PHK pasti mendapat pesangon. Tapi pesangon sifatnya menjadi dana tambahan dari persiapan finansial pekerja secara mandiri.
"Sekarang berpikirnya, saya siapkan sendiri kesejahteraan saya, kalaupun ada pesangon dari perusahaan itu sifatnya tambahan saja," imbuhnya.
Senada, Perencana Keuangan Safir Senduk mengatakan sebaiknya pekerja mempersiapkan asuransi kesehatan dan dana pensiun secara pribadi. Ia juga mengimbau pekerja tidak mengandalkan dana pensiun yang diberikan oleh perusahaan, lantaran kerap kali jumlahnya tidak cukup.
"Dengan hadirnya ini (UU Ciptaker), maka makin urgent lagi harus persiapan sendiri dana pensiun dan asuransi kesehatan" tuturnya.
3. Prioritas penggunaan pesangon
Safir menambahkan uang pesangon yang diterima pekerja, sebaiknya difokuskan untuk dua hal. Pertama, biaya hidup dalam beberapa bulan ke depan.
"Berapa bulan ini, bergantung dengan pesangon yang dikasih, tapi minimal 1-2 bulan ke depan kalau misalnya pesangon kecil. Syukur-syukur bisa 3-6 bulan ke depan," ucapnya.
Kedua, ia menyarankan agar uang pesangon didahulukan untuk membayar cicilan utang jatuh tempo yang belum dibayarkan, misalnya, cicilan motor atau mobil yang menunggak. Namun, ia menilai sebaiknya cicilan lain yang belum jatuh tempo sebaiknya ditangguhkan pembayarannya.
"Kalau ada saldo utang lain, perlu dilunasi? Tidak, karena belum jatuh tempo. Dan kedua, kita butuh pesangon untuk bertahan hidup sampai dapat penghasilan baru. Jadi, bayar saja cicilan normal tidak perlu dipercepat," ucapnya.
4. Menyesuaikan pengeluaran
Tidak kalah penting, perubahan skema pesangon tersebut hendaknya diikuti dengan penyesuaian pengeluaran dari pekerja. Ketika tidak memiliki pemasukan, sementara biaya hidup bergantung hanya pada pesangon, sebaiknya pekerja mengurangi pengeluaran di luar kebutuhan pokok untuk hidup sehari-hari.
"Harus siap dengan keuangan kita, jangan hamburkan uang," ujar Safir.
Senada, Gozali juga berpesan bagi pekerja yang sudah memiliki keluarga, konsekuensi pada pengaturan keuangan harus dibicarakan dengan matang. Khususnya, jika pekerja tersebut memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan sehingga pemasukan rumah tangga berkurang.
"Dengan penghasilan rumah tangga berkurang, maka pengeluaran juga harus ikut menyesuaikan. Yang jelas biaya bekerja seperti transportasi, makan di luar, pakaian, dan lainnya jelas berkurang. Apalagi yang harus dikurangi? Tentu perlu lakukan penyesuaian arus kas ya," ucapnya.
5. Penghasilan tambahan
Selain menyesuaikan dengan pesangon yang didapat, maka pekerja juga perlu melakukan antisipasi dengan mencoba mencari sumber penghasilan lainnya.
Keputusan ini bisa dilakukan sebelum pekerja memutuskan untuk resign maupun saat kondisi perusahaan terancam memutuskan PHK. Sehingga ketika lepas dari pekerjaan, masih memiliki pendapatan.
Namun, Safir menuturkan sumber penghasilan sampingan itu tidak memiliki konflik kepentingan dengan pekerjaan yang digeluti sekarang. Salah satu alternatif yang bisa dicoba adalah membuka bisnis.
"Kalau belum pernah buka bisnis, fokus pada bisnis yang pendapatannya cepat, meskipun untungnya kecil. Karena mentalnya belum terlatih, misalnya buka toko sembako. Tapi, kalau mental sudah terlatih tidak apa-apa buka jasa yang misalnya, kliennya hanya datang sebulan sekali tapi pendapatannya besar," katanya.
6. Antisipasi non finansial
Tak hanya persiapan finansial, pekerja juga perlu mempertimbangkan persiapan non finansial. Safir menuturkan persiapan yang paling penting adalah mental.
"Syukur, alhamdulillah bisa kerja di perusahaan ini, tapi kita tahu sewaktu-waktu Tuhan bisa membalikkan keadaan," ucapnya.
Selanjutnya, ia menyarankan pekerja untuk menambah ilmu dan ketrampilan di luar keahlian yang dimiliki saat ini. Ilmu dan keterampilan tersebut bisa diperoleh dari mengikuti sejumlah kursus atau belajar secara otodidak.
"Perbanyak menguasai ilmu yang beda dan unik karena ilmu yang beda dan unik itu kalau dijual bisa mahal. Tidak harus yang berhubungan akademik, tapi juga soft skill dan seni," ucapnya.
Sumber : cnnindonesia.com