Jakarta -- Wabah virus corona atau Covid-19 terus meluas ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan sudah ada dua kasus positif virus corona di Tanah Air.
Pengumuman ini rupanya langsung membuat masyarakat panik. Bahkan, sebagian masyarakat langsung melakukan aksi memborong kebutuhan sehari-hari dan perlengkapan kesehatan serta kebersihan untuk menghadapi virus corona yang mampir ke dalam negeri.
Masalahnya, membeli kebutuhan sehari-hari dalam jumlah banyak membutuhkan dana tambahan. Tak sedikit masyarakat yang pada akhirnya harus merogoh tabungan untuk menutup kebutuhan.
Sebenarnya apa perlu borong kebutuhan sehari-hari ketika masalah seperti virus corona datang?
Perencana Keuangan Oneshildt Financial Planning Agustina Fitria menilai sebenarnya aksi borong tidak perlu dilakukan. Toh, kasus virus corona di Indonesia masih sangat sedikit dan belum menjadi ancaman tinggi.
Selain itu, pasokan kebutuhan sehari-hari masyarakat sebenarnya masih terjamin di pasar, sehingga tidak perlu memborong, apalagi berebut. Misalnya, berebut beli masker, hand sanitizer, hingga mie instan.
"Kecuali yang terjadi sekarang ini adalah bencana alam, misalnya banjir dan gunung meletus yang membuat masyarakat aksesnya terputus, harus mengungsi, dan lainnya. Kalau sekarang ini kan sebenarnya masih mudah semuanya," ungkap Agustina kepada CNNIndonesia.com, Jumat (6/3).
Sejatinya, aksi borong kebutuhan sehari-hari dalam jumlah banyak sejatinya perlu dilihat secara matang. Misalnya, risiko kerugian bila bahan pangan yang tidak tahan lama justru ditumpuk terlalu banyak di rumah.
Kemudian, pertimbangkan juga arus kas yang dimiliki. Jangan sampai kepanikan yang berujung ingin memborong kebutuhan sebenarnya tidak didukung oleh arus keuangan yang lancar.
Apalagi, bila Anda tidak mempunyai alokasi dana darurat. Agustina menjelaskan dana darurat merupakan anggaran berlebih yang sengaja dipegang untuk menghadapi kondisi mendesak.
Idealnya, kata Agustina, dana darurat sebesar tiga kali jumlah pengeluaran bulanan. Misalnya, pengeluaran Anda sekitar Rp3 juta per bulan, maka alokasi dana darurat perlu mencapai Rp9 juta.
"Pokoknya ini alokasi standby ketika ada yang darurat. Tapi ini sebenarnya tidak mesti uang tunai, boleh ditaruh di aset keuangan asal yang mudah dicairkan," katanya.
Menurutnya, aset keuangan yang mudah dicairkan sebagai dana darurat adalah reksadana pasar uang dan deposito. Sebab, dari sisi imbal hasil biasanya tidak mudah naik turun dengan cepat.
Selain itu, proses pencairan terbilang cepat. Berbeda bila Anda meletakkan dana darurat di emas yang mudah naik turun harganya, apalagi ketika sentimen virus corona saat ini.
Kendati punya dana darurat, Agustina mengingatkan penggunaannya harus cermat. Jangan sampai dana darurat juga habis begitu saja karena dipakai secara tidak bijaksana.
"Misalnya saat kerusuhan 1998, itu memang banyak orang merasa perlu lari dari Indonesia ke luar negeri, itu tidak apa bila dana darurat digunakan. Bahkan, sampai harus jual aset. Tapi kalau di kondisi saat ini, lalu mau mengungsi ke mana begitu, rasanya tidak perlu," tuturnya.
Kemudian, yang perlu diperhatikan juga adalah jangan sampai kepanikan memborong kebutuhan sehari-hari membuat Anda terlalu buru-buru mencairkan aset keuangan. Apalagi, sampai berutang.
"Pencairan aset boleh asal jelas, tapi kalau utang sebaiknya jangan, itu pilihan benar-benar terakhir. Soalnya risikonya cukup besar di kemudian hari," ujarnya.
Bijak Cairkan Aset
Di sisi lain, dampak penyebaran virus corona sebenarnya turut melemahkan perekonomian dan sektor keuangan, misalnya pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan anjlok sekitar 13 persen sejak awal tahun karena tertekan isu ini.
Masyarakat pun jadi cemas dengan aset-aset keuangan yang diinvestasikan selama ini. Apakah perlu segera dicairkan sebelum merugi lebih dalam atau justru harus dipertahankan?
Agustina mengatakan berbagai aset keuangan yang dimiliki sebaiknya dievaluasi lebih dulu. Pertama, dari sisi tujuan kepemilikan, misalnya untuk kebutuhan pernikahan.
Begitu pula dengan rencana durasi investasi, misalnya, investasi sejak tahun lalu untuk kebutuhan tahun ini. Kedua, lihat pula dari sisi prospek instrumen investasi tersebut.
Misalnya, memiliki saham di perusahaan-perusahaan yang paling terkena dampak dari kekhawatiran virus corona. Lalu, sejak awal tahun, harga saham mudah jatuh setiap kali ada perkembangan terbaru dari wabah virus corona.
Ketiga, pertimbangkan pula prospek pengelola dana, apakah mudah menurunkan tingkat imbal hasil atau tidak. Kemudian, lihat pula rekam jejak pengelolaan dana atas instrumen investasi yang mereka tawarkan.
"Kalau dana memang sudah akan dipakai dalam waktu dekat, misalnya kurang dari satu tahun dan terdapat potensi kerugian yang besar, maka bisa dicairkan," ucapnya.
Agustina memberi saran, bila aset dicairkan tetapi masih ada waktu sebelum dana benar-benar digunakan, tidak ada salah untuk mengalihkan sementara investasi tersebut.
"Bisa dialihkan dananya sebagian ke deposito untuk mengantisipasi penurunan harga saham yang lebih dalam," imbuhnya.
Sebaliknya, jika tujuan investasi untuk jangka panjang dan kebutuhan tidak mendesak, sebaiknya investasi itu jangan terburu-buru dicairkan. Apalagi, bila prospek investasinya masih cukup baik ke depan.
"Kalau masih ada rencana untuk investasi rutin setiap bulan karena sumber dana investasi masih terjamin pula, maka sementara ini bisa dipertahankan," ujarnya.
Opsi pengalihan pun tetap terbuka bila tujuan investasi jangka panjang. Misalnya, memindahkan aset ke instrumen yang lebih konservatif dan punya prospek lebih baik di tengah sentimen virus corona.
"Bisa seperti reksadana pasar uang dan tabungan rencana," tuturnya.
Senada, Perencana Keuangan Advisors Alliance Group Indonesia Andy Nugroho menilai investasi yang tujuannya jangka panjang sebaiknya tidak segera dicairkan. Sebab, akan memberikan nilai kerugian yang lebih tinggi ketimbang sedikit bersabar menunggu sentimen reda.
"Tapi kalau tujuannya untuk trading harian, tentu sudah harus dicairkan ketika harga terus turun dalam beberapa hari sebelumnya," ungkapnya.
Bila investasi perlu dialihkan ke instrumen lain, Andy menyarankan agar pemindahan dilakukan ke aset safe haven seperti emas. Apalagi harga emas tengah melejit di tengah sentimen wabah virus corona.
"Bila mau switching ke emas saja, saat ini lebih aman, meski harganya sudah ketinggian. Alternatif lain, bisa masuk ke deposito, sedangkan reksadana dari saham bisa dipindahkan ke pasar uang," jelasnya.
Sementara, bila investasi bertujuan untuk pos dana darurat, maka tidak ada salahnya untuk mulai dicairkan. Dengan begitu, Anda bisa memiliki pegangan dana tunai bila sewaktu-waktu dibutuhkan, misalnya untuk beli perlengkapan kebersihan dan kesehatan guna menghalau serangan virus corona.
Namun, Andy menggarisbawahi, pastikan semuanya terukur dan tidak berlebihan. Jangan sampai kekhawatiran membuat Anda terlalu cepat mencairkan aset, sehingga memegang dana tunai yang sebenarnya belum mendesak dibutuhkan.
Sumber : cnnindonesia.com