Untung Rugi Orang Asing Mudah Miliki Properti di Dalam Negeri
01 Februari 2020, 09:00:03 Dilihat: 366x
Jakarta -- Topik bisnis properti kembali muncul ke permukaan. Hal tersebut terjadi karena permintaan dari Pemilik MNC Group sekaligus Ketua Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk memudahkan orang asing memiliki properti di Indonesia pada Selasa (28/1) kemarin.
Peraturan kepemilikan properti oleh asing sendiri telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Beleid itu dirilis Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir Desember 2015 lalu.
Dalam PP tersebut, pemerintah secara resmi mengumumkan bahwa warga negara asing (WNA) dapat membeli hunian di dalam negeri. Asalkan, WNA memenuhi sejumlah syarat.
Namun, banyak pihak yang menilai peraturan tersebut tidak mendukung dari sisi investasi bidang properti.
Pasalnya, individu asing harus memiliki status bekerja, berinvestasi, atau memberikan manfaat di Indonesia. Peraturan tersebut juga mengatakan bahwa hunian yang dapat dibeli oleh individu asing hanya meliputi rumah tinggal di atas tanah (rumah tapak), serta apartemen ataupun kondominium.
Selain itu, individu asing hanya dapat membeli kedua aset dengan status hak pakai, dengan batasan waktu maksimal 80 tahun. Rinciannya, kepemilikan pertama berjangka waktu 30 tahun. Setelah itu, dapat diperpanjang selama 20 tahun dan bisa diperbarui kembali 30 tahun.
Terlebih, adanya aturan yang mengharuskan individu tersebut untuk memiliki visa, Kartu izin Tinggal Terbatas (KITAS), atau izin kerja (working permit). Cara lainnya, individu asing harus memiliki perusahaan di Indonesia. Bila tidak, mereka tidak bisa memiliki aset properti di Indonesia.
Sebagai bukti kepemilikan, individu asing juga harus hadir ke Indonesia setiap setahun sekali. Sementara untuk perusahaan asing boleh memiliki properti di dalam negeri bila terbukti melakukan Penanaman Modal Asing (PMA).
Dengan perubahan aturan-aturan yang menyulitkan tersebut, Harry yakin kemudahan asing memiliki properti di Indonesia dapat mendorong minat investasi di sektor properti dalam negeri. Ujung-ujungnya, sektor properti dapat semakin menggeliat.
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah menilai peraturan kepemelikan properti memang kerap menjadi masalah bagi pebisnis asing terutama dalam berinvestasi di bidang properti Indonesia. Bahkan, investor asing juga kerap melakukan metode-metode lain untuk mengakali peraturan tersebut, salah satunya adalah dengan menikahi warga lokal.
"Dampak negatif aturan ini adalah terbatasnya permintaan atas properti di Indonesia. Banyak investor asing juga akhirnya memutuskan menikah dengan orang Indonesia untuk menyiasati larangan ini," ucap Piter saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (28/1).
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memperlihatkan realisasi investasi sektor perumahan, kawasan industri, dan gedung perkantoran pada kuartal I 2019 anjlok sekitar 32 persen menjadi Rp18,8 triliun dibandingkan periode sama pada 2018 sebesar Rp27,6 triliun.
Imbasnya, kontribusi sektor perumahan, kawasan industri, dan gedung perkantoran terhadap total realisasi investasi juga merosot. Pada kuartal I 2018, kontribusi sektor ini 14,9 persen. Namun, pada periode sama tahun ini melorot menjadi sekitar 9,7 persen.
Kendati demikian, Piter merasa implementasi dari ide kemudahan peraturan tersebut harus betul-betul diperhitungkan oleh pemerintah. Pasalnya, selain keuntungan, relaksasi aturan kepemilikan juga berisiko membawa kerugian bagi negara.
Dari sisi keuntungan, Piter dapat memastikan lonjakan besar dari permintaan asing di sektor properti, yang dapat berlanjut kepada naiknya nilai investasi di Indonesia.
"Kenaikan permintaan itu dapat dipastikan menjadi keuntungannya," ujarnya.
Di sisi lain, kemudahan kepemilikan properti bagi warga asing dapat memicu kenaikan harga properti yang dapat berujung protes dari masyarakat. Pelonggaran aturan juga berpotensi menyuburkan anggapan bahwa pemerintah lebih memihak kepada asing dibandingkan kepentingan masyarakat.
"Kalau larangan ini dihapuskan atau diubah maka permintaan properti khususnya di daerah-daerah utama seperti Jakarta, Bali, Bandung akan melonjak sangat tinggi. Kerugian lainnya, pemerintah juga dapat dicap pro asing," ungkapnya.
Senada, Ekonom dan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal juga menyebutkan potensi ketimpangan sosial yang dapat dihasilkan dari kemudahan investasi asing itu.
Ketimpangan tersebut, lanjut Faisal dapat lebih parah dengan potensi merajalelanya investor asing dan investor besar dalam negeri di bidang bangunan dan lahan.
"Sekarang saja, kalau dari sisi bangunan saja misalkan, asing kan sudah bisa banyak memiliki properti bangunan, bahkan di lokasi-lokasi yang strategis, bukan lagi sembarang lokasi sampai daerah-daerah CBD (Central Business District) atau pusat bisnis," tutur Faisal.
Faisal mengatakan akar permasalahan merupakan terbatasnya daya beli masyarakat menengah ke bawah dalam membeli lahan ataupun bangunan.
Dengan munculnya asing sebagai kompetitor investasi di Indonesia, masyarakat menengah akan semakin kesulitan untuk membeli lahan ataupun bangunan karena standar harga yang naik.
"Sekarang permasalahannya bukan lagi ketimpangan antara si kaya dan si miskin, tapi juga antara orang Indonesia dan yang asing. Apalagi, kalau kita mempertimbangkan dari sisi efeknya terhadap peningkatan harga, aset terutama lahan di sini," tuturnya.
Tak menutup kemungkinan, standar harga yang naik juga akan menyebabkan pihak asing lebih diuntungkan, karena kalahnya jumlah kekuatan pembelian aset lahan oleh pihak-pihak dalam negeri.
"Nah, ini kalau kemudian asing bisa memiliki, itu kan artinya nantinya standar harga bisa jadi berubah. Karena purchasing power dari asing kemungkinan akan lebih tinggi dibandingkan purchasing power secara rata-rata di dalam negeri, ini akan bisa mengerek harga lahan hingga sangat tinggi," tuturnya.
Faisal menyebut pemerintah hanya memiliki dua opsi dalam merespon permasalahan pada peraturan tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa pada setiap opsinya akan terdapat kekurangan dan juga kelebihan yang didapatkan.
"Apa yang bisa dilakukan pemerintah? Pilihannya adalah mengikuti usulan sehingga menaikkan investasi, namun menyusahkan masyarakat menengah ke bawah, atau mencari jalan lain yang bisa mendorong permintaan properti," jelasnya.
Dengan demikian, Faisal mengusulkan agar pemerintah memperhitungkan dengan detail terkait potensi kerugian dan keuntungan yang didapat atas perubahan ataupun peniadaan aturan tersebut.
"Jadi menurut saya, langkah-langkah pemerintah untuk mendaur investasi, harus benar-benar dipilah-pilah. Jangan segala sesuatu dikorbankan untuk investasi karena kita juga harus melihat untung ruginya," pungkasnya.
Sumber : cnnindonesia.com