SISTEM APBN Republik Indonesia menganut kebijakan untuk mencatat penerimaan dari minyak berdasarkan asumsi harga pasar. Hal ini untuk memberikan asas pemerataan distribusi sumber penerimaan negara yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.
Sementara itu, harga jual bahan bakar minyak (BBM) tertentu (BBM bersubsidi seperti premium, solar, dan kerosin, LPG tabung 3 kg) ditentukan lebih rendah daripada harga keekonomian yang sesungguhnya, berdasarkan pertimbangan tertentu oleh Pemerintah, seperti kemampuan daya beli masyarakat, dan lain-lain.
Pertamina diberi tugas oleh pemerintah (public service obligation/ PSO) untuk menjamin ketersediaan BBM di seluruh Indonesia pada jumlah dan harga yang ditentukan oleh pemerintah. Selisih antara produksi minyak dan kebutuhan, dipenuhi dengan mengimpor minyak mentah dan produk BBM Pertamina mengolah minyak mentah, dan menyalurkan produk BBM ke seluruh Indonesia.
Selisih antara harga jual dan harga beli produk BBM + biaya pengolahan + transportasi + margin/alpha Pertamina, ditagih ke pemerintah. Dalam sistem APBN, selisih tersebut dicatat sebagai beban APBN dalam pos subsidi BBM, yang dalam RAPBN tahun 2013 tercatat Rp193 triliun.
Permasalahan dalam sistem APBN berimbang tersebut akan ada apabila terjadi dua hal, yaitu pertama asumsi kebutuhan BBM bersubsidi melebihi jumlah kuota yang diperkirakan dalam APBN. Kedua, apabila harga pokok pembelian minyak mentah dan produk BBM naik di pasar dunia.
Pembahasan
Berdasarkan monitoring APBN, diperkirakan kuota BBM bersubsidi akan terlampaui sebanyak 2,5 juta kiloliter, atau senilai Rp12 triliun. Salah satu cara mengatasi adanya bleeding di APBN adalah dengan menaikkan harga BBM, dan melakukan pembatasan BBM. Pembatasan tersebut tampaknya tidak mudah implementasinya, mengingat ada kebutuhan yang tidak dapat terhindarkan untuk BBM, dan juga kesulitan dalam pengawasannya.
Adapun yang menjadi masalah adalah apabila ada penyalahgunaan BBM bersubsidi, yang disalurkan kepada pengguna BBM nonsubsidi. Disparitas harga yang besar dapat mendorong sebagian kalangan untuk memanfaatkan celah tersebutdemikeuntungan arbitrage. Harga bahan bakar premium di Indonesia Rp4.500 per liter tergolong murah bila dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Turki sekitar Rp23.000 per liter, Jerman Rp19.000 per liter, Singapura Rp14.500 per liter, Inggris Rp21.000 per liter, dan Korea Selatan Rp17.000 per liter.
Dalam hal penyesuaian dengan menaikkan harga BBM telah dibuat, sehingga ada tersedia selisih dana, maka penggunaan selisih dana tersebut harus dicermati. Sepanjang penyesuaian harga BBM adalah untuk mengembalikan asumsi perhitungan hingga jumlah alokasi subsidi di APBN relatif tidak ada persoalan. Namun, apabila tujuannya sekaligus untuk mengurangi beban subsidi di APBN, maka akan ada problem terkait pengalokasiannya.
Dalam sistem perencanaan pembangunan nasional berdasarkan UU No25 Tahun 2004, usulan anggaran dan program/proyek adalah dari kementerian/lembaga, yang diselaraskan dengan prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Tahunan. Nah yang menjadi pertanyaan, apabila adasisaanggaran, bagaimana penggunaannya? Dalam kurun waktu sisa kurang dari satu semester ke depan agak mustahil kementerian/ lembaga dapat mengusulkan program kerja baru.
Apabila dipaksakan, maka urgensi, akuntabilitas, dan relevansi programprogram tersebut menjadi pertanyaan. Pengalaman empiris dalam Program Penyesuaian Infrastruktur Daerah, yang dalam proses pembahasan APBN mengutak-atik penghematan postur APBN secara artifisial dengan menaikkan asumsi penerimaan dan mengurangi asumsi pengeluaran dalam pembahasan anggaran, menunjukkan bahwa pemaksaan program yang tidak ada dalam usulan awal kementerian/ lembaga, rawan untuk disalahgunakan, dan banyak tersangkut kasus hukum.
Sementara, apabila selisih dana tersebut disalurkan langsung ke masyarakat, maka akan menimbulkan komplikasi yang lain. Pertama adalah pemilihan dan penentuan masyarakat yang berhak mendapatkan kompensasi dana. Kedua adalah siapa yang akan menyalurkan. Apakah pemerintah melalui aparatnya hingga tingkat desa, atau lembaga politik, seperti DPR, yang dapat mengemas dalam label nama program mulia, seperti dana penguatan dan pengembangan konstituen, misalnya.
Ketiga adalah seberapa besar manfaat produktif dari uang tersebut bagi masyarakat, dalam hal harga-harga barang telah naik terlebih dahulu. Inflatory effect dari BBM memiliki sifat snowball yang tinggi atau malah tidak mendidik karena akan digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif karena tiba-tiba mendapatkan uang tunai. Jumlah APBN tahun 2013 adalah lebih kurang Rp1.530 triliun.
Adapun kemungkinan pelampauan anggaran subsidi adalah Rp12 triliun. Jumlah tersebut hanya sekitar 9 persen lebih tinggi dari asumsi awal, suatu diskrepansi yang secara umum masih wajar dalam logika perencanaan tahunan. Sedangkan terhadap nilai APBN, jumlah tersebut hanya 0,8 persen dari nilai APBN. Maka wajar kalau ada sebagian kalangan, termasuk di DPR, yang mempertanyakan, apakah mendesak menaikkan harga BBM saat ini.
Apakah penghematan yang tidak sampai 1 persen dari APBN seimbang dengan kesulitan dan komplikasi yang bakal dialami, baik dalam tataran implementasi, pengawasan, maupun kompensasi ke masyarakat terdampak? Apakah tidak ada pos-pos lain yang dapat diefisiensikan? Apabila harga BBM dinaikkan dalam waktu dekat, maka dampak besarnya akan terasa pada awal semester depan. Pada saat itu pengeluaran rumah tangga akan naik karena tahun ajaran baru, dan juga menjelang bulan puasa/Lebaran.
Kalau Pemerintah menjamin tidak akan ada inflatory effect yang signifikan, bagaimana caranya? Dalam teori dasar ekonomi, harga terbentuk sebagai interaksi penawaran dan permintaan. Mengingat keterbatasan kapasitas produksi nasional, tidak mungkin membanjiri pasar dengan menaikkan suplai barang secara drastis untuk menekan harga. Lalu, apakah itu berarti kita akan melihat keran impor barang-barang akan dibuka untuk membanjiri pasar dalam rangka mengendalikan harga untuk menekan inflasi pasca-dinaikkannya harga BBM? Wallahualam.
Untuk mengurangi beban pemerintah, menurut penulis, harus dilakukan secara konseptual, struktural, mulai hulu ke hilir. Salah satu penyebab subsidi ini karena pemerintah menanggung sendiri biaya distribusi BBM hingga pelosokpelosok dengan harga yang sama.
Pertanyaannya, kenapa hal tersebut tidak dibebankan juga ke SPBU asing? Kenapa SPBU asing diizinkan membuka outlet hanya di kota-kota besar yang memberi margin besar tanpa kewajiban membuka outlet hingga pelosok.
Di sisi hulu, pemberian atau perpanjangan wilayah kerja pertambangan migas produktif hendaknya juga dikaitkan dengan kewajiban untuk membuka kilang pengolahan minyak mentah. Industri kilang minyak mentah tidak memberikan margin yang besar serta pengembalian investasinya lama. Hanya dengan mengombinasikan kebijakan hulu-hilir secara konseptual terpadu yang memungkinkan teratasinya persoalan subsidi BBM ini.
Selain itu, pemerintah perlu mendorong pembangunan dan pengembangan jaringan distribusi dan penyaluran gas yang akan menjadi alternatif BBM pada masa depan. Adapun terhadap jawaban pertanyaan dalam judul tulisan ini, sepenuhnya diserahkan kepada pembaca.