Ahli di Sidang MK, Netflix dkk Harus Diatur Negara
04 Oktober 2020, 09:00:00 Dilihat: 154x
Jakarta -- Ahli di sidang uji materi Mahkamah Konstitusi (MK) Iswandi Syahputra menilai layanan over the top (OTT) video on demand (VoD) atau layanan video streaming seperti Netflix masuk kategori siaran dan mesti diatur oleh negara.
Hal itu disampaikan Iswandi saat dihadirkan sebagai ahli dari pemohon dalam sidang Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Kamis (1/10) yang disiarkan langsung di YouTube MK.
"OTT yang masuk dimaksud dalam konteks ini adalah OTT VoD, dia masuk kategori keempat yaitu layanan video streaming seperti Blitz, Netflix, Amazon Prime, Vivo," kata dia, yang juga merupakan Pakar Komunikasi dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
"Oleh karena video OTT dalam bentuk VoD adalah konten siaran atau bagian dari bentuk siaran, maka perlu ada pihak yang mengaturnya," imbuhnya.
Mantan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tersebut menilai yang berhak mengatur layanan video streaming tersebut adalah negara.
"Bahkan saya dapat menyebut negara mutlak harus melakukan pengaturan atau memberi perlindungan publik dari tayangan negatif. Karena itu perlu ada aturan yang mengaturnya dan perlu ada pihak yang merepresentasikan negara untuk mengatur konten OTT," ucap dia.
Menurut dia, pengaturan terhadap OTT itu bukan untuk membatasi warga negara untuk menyampaikan pendapat atau berekspresi, sebab, bagaimanapun, kata dia, menyampaikan pendapat dan berekspresi merupakan hak dasar manusia.
Namun pengaturan itu untuk melindungi warga dari berbagai konten negatif di internet melalui video dalam konteks media baru.
"Mengapa perlu diawasi atau diatur? Karena memang memberikan pengaruh buruk pada publik. Dapat menimbulkan moral panic, karena mengandung konten pornografi, sadisme, bahkan penipuan," kata dia.
"Dalam konten tertentu bahkan bisa mengancam kedaulatan negara karena bermuatan radikalisme dan terorisme," lanjut dia.
Lebih lanjut, ia menilai, karena OTT masuk dalam kategori siaran. Maka konten OTT dapat diawasi menggunakan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
"Dalam konteks ini maka KPI dapat menjadi pihak yang merepresentasikan kehadiran negara dalam memberikan perlindungan ke publik dari konten negatif OTT atau VoD," ujar dia.
Diketahui, uji materi UU penyiaran dimohonkan oleh PT Visi Citra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI).
Norma yang diuji adalah Pasal 1 ayat (2) terkait definisi penyiaran yang masih terbatas pada media konvensional.
Pemohon berpendapat ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) a quo tidak mencakup pada layanan penyiaran berbasis internet dengan banyak platform digitalnya alias layanan OTT.
Seharusnya, menurut pemohon, layanan OTT masuk ke dalam rezim penyiaran karena turut melaksanakan aktivitas penyiaran.
"Perbedaannya dengan aktivitas penyiaran konvensional terletak pada metode pemancarluasan/penyebarluasan yang digunakan," kata pemohon seperti dikutip dari situs mkri.id.
Terkait uji materi UU ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut, jika dikabulkan MK, UU tersebut akan berdampak pada larangan live streaming di media sosial, seperti Instagram Story.
Direktur eksekutif SAFEnet Damar Juniarto menyebut gugatan yang diajukan RCTI dan iNews itu sejatinya tidak lebih dari upaya persaingan usaha antara industri penyiaran lama dengan industri internet yang baru tumbuh belakangan ini.
Dia juga menuturkan pemohon tidak memikirkan dampak uji materi UU ini pada hukum, sosial, budaya.
"Gugatan ini mencerminkan ketika kepentingan usaha para kapitalis industri penyiaran terganggu, mereka berupaya mengubah hukum dengan dalih untuk pengaturan penyiaran yang lebih baik, bukan atas dasar pengaturan hukum yang lebih baik, setara bagi semua pihak, dan berkeadilan," ujar Damar, Jumat (28/8).
Sumber : cnnindonesia.com