Marak Peretasan, ICJR Nilai Aparat Tebang Pilih Tangani Kasus
29 Agustus 2020, 09:00:00 Dilihat: 146x
Jakarta -- Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menyebut aparat kerap melakukan tindakan berbeda terhadap pihak yang pro dan pihak yang kritis terhadap pemerintah dalam mengusut kasus peretasan dan pembongkaran informasi pribadi.
"Walaupun aturan hukum sudah ada, dalam hal penanganan dan ketanggapan Aparat Penegak Hukum (APH) mengusut kasus serupa berbeda dan terkadang mengalami double standard terhadap mereka yang kritis terhadap pemerintah," kata Erasmus melalui siaran pers yang diterima CNNIndonesia.com, Sabtu (22/8).
Erasmus meminta agar aparat, khususnya kepolisian, bisa menangani berbagai kasus dari mulai doxing hingga peretasan secara profesional dan tidak membedakan siapa korbannya.
Menurut dia, penyelesaian kasus-kasus ini harus dilakukan tanpa diskriminasi demi melindungi para aktivis Pembela HAM, Pers dan pihak-pihak yang kerap menyampaikan kritikan dengan maksud membangun. Apalagi, kebebasan berpendapat diatur oleh undang-undang.
"Maka, dengan ini ICJR menyerukan bagi APH, khususnya Kepolisian RI untuk secara professional segera menuntaskan kasus-kasus peretasan seperti ini dengan menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE tanpa diskriminasi," kata Erasmus.
Erasmus merinci sejumlah kasus yang saat ini kerap terjadi di Indonesia. Baru-baru ini, kasus peretasan menimpa salah satu media yakni Tempo. Peretasan terjadi pada Jumat (21/8) lalu yang langsung menyerang situs website milik salah satu media besar di Indonesia itu.
Hal sama juga nyatanya tak hanya terjadi pada Tempo. Dalam kurun waktu tersebut hal serupa juga terjadi terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang dikenal kritis terhadap pemerintah. Misalnya terhadap epidemiolog Pandu Riono yang akun Twitter pribadinya diretas. Kasus lain juga terjadi pada Ravio Patra hingga Denny Siregar.
Menurut Erasmus, serangan di ruang siber seperti itu merupakan upaya pembungkaman pers yang seharusnya dilindungi di dalam negara demokrasi. Bahkan kejadian ini cenderung terjadi kepada pihak-pihak yang kerap menyampaikan kritikan kepada pemerintah.
"Hak kebebasan berpendapat dan kebebasan pers merupakan kebebasan eksklusif untuk media dalam menyampaikan pemberitaan sesuai dengan fakta yang didapat dan pertanggung-jawaban atau penyelesaian sengketa terhadapnya adalah lewat mekanisme Dewan Pers," kata Erasmus.
Erasmus mengamini Indonesia memang belum memiliki kebijakan perlindungan data pribadi. RUU Perlindungan Data Pribadi sendiri saat ini masih merupakan PR untuk dibahas di DPR.
Namun dalam melindungi serangan siber seperti ini UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudah mengatur proteksi hukum bagi serangan siber seperti tersebut. Peretasan dalam klausul hukum merupakan "akses ilegal" yang dilakukan terhadap komputer/sistem elektronik milik orang lain.
Misalnya kata Erasmus, dalam pasal 30 ayat (1) UU ITE menyebutkan Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
Dalam hal mengakses dan mengambil informasi atau data pribadi bisa dikenakan Pasal 32 ayat (1) UU ITE yang berbunyi Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
Atas dasar inilah Erasmus meminta agar aparat tak bersikap diskriminasi dalam penanganan sejumlah serangan terhadap beberapa pihak ini. Apalagi kata Erasmus serangan terhadap jaminan kebebasan merupakan serangan terhadap demokrasi.
"Kasus-kasus seperti ini dilihat dapat bertambah dan semakin banyak maka perlu langkah aktif dari APH dalam menanggapi kasus serupa. Seiring dengan kecenderungan berubahnya perilaku offline menjadi online atau virtual selama masa pandemi Covid-19, serangan-serangan siber akan banyak ditemukan," kata dia.
Sumber : cnnindonesia.com